Chapter Six : Manuscript which Burn

2.1K 240 79
                                    

Chapter Six : Manuscript which Burn.

"Aku berangkat, Ma, Pa, Selamat Malam."

"Ini sudah pukul tujuh malam, besok sepulang sekolah kamu bisa langsung ke rumah sakit, kenapa harus malam ini?" Shadiq kurang setuju.

"Kemarin Mama dan Papa baru mengunjunginya, kan? Kenapa enggak memberitahu dulu."

"Kamu masih terus mengunjunginya, Nak?" Kirana bertanya.

"Tentu, Ma."

"Kemarin kau sekolah. Dena, ayolah, Papa selalu berdoa, mendoakan agar Tuhan memberi yang terbaik dengan jalan-Nya sendiri."

"Hanya tinggal menunggu waktu, cepat atau lambat ia pasti pergi...." Kirana mulai meneteskan air mata. Ah ini mulai dramatis. Yah yah, Dena membenci segala hal tentang drama, atau yang sesuatu yang terkesan mellow sebelum hal besar yang menyakitkan dan tidak terduga datang, dan membuatnya harus terus bersandiwara dengan skenario yang ia buat.

"Percaya sama Dena, Ma! Dia pasti bangun!" Dena memeluk Kirana.

"Kemarin Papa sempat kaget, ia jadi sangat kurus, rambutnya sudah mulai memanjang, ini sudah hampir dua minggu sejak hari itu." Shadiq menatap lurus ke depan, ia terpaku, jauh di lubuk hatinya ada rasa rindu luar biasa, rasa sakit yang tidak bisa disangkal, bahkan melibihi itu; ada rasa yang tidak bisa dijelaskan. "Ini semua salah Papa."

"Udahlah...," balas Kirana sambil sedikit terisak, suaranya serak. "yang penting sekarang kita harus terus jalanin hidup. Masalalu buat pelajaran saja." Dena melihat Kirana, bahunya bergetar.

Setelah itu, Dena berangkat menggunakan motor, angin malam tak membuatnya kedinginan, karena hatinya sudah mulai membeku, dan api mana pun tak akan mampu melelehkannya.

|S ・L|

Kira-kira dua jam kemudian Dena keluar dari rumah sakit, ia melirik jam ditangannya. Pukul sembilan malam. Ia buru-buru menuju parkiran dan mengambil motornya, sebelum terlalu malam, karena ia ingin mampir sebentar membeli donat, biasanya Dena ke sini bersama kakaknya kalau weekend atau kapan saja kalau ada waktu, atau bersama teman-temannya sepulang sekolah. Tapi, itu semua sudah berubah, semuanya.

Sesampainya ia di Dunkin' Donuts dan memarkirkan motornya, matanya melihat sosok familier. Tadinya hanya satu, tapi kemudian teman-temannya muncul dari kasir pemesanan. Totalnya ada enam, mereka duduk menyantap donat dan kopi.

Dena mengambil napas, kontradiksi mulai menganggunya. Masuk, atau pulang. Dari jumlah, Dena sudah kalah. Tapi, ini Dena! Peduli setan dengan jumlah, ia tidak takut sama sekali. Hanya saja, ia terlalu malas melihat wajah orang-orang itu.

Akhirnya, Dena masuk. Ia hanya tinggal membungkus selusin donat dan pulang, bukan?

"Eh itu, kan Dena!" Dan
"Berani juga dia." Dena mendengar bisikan dari samping saat ia beranjak ke kasir.

Yah ... sepertinya akan lebih lama.

Setelah Dena selesai dengan donat ini, ia beranjak keluar. Tapi, tangan kirinya digenggam oleh seseorang. Dia mau nyari ribut?

"Eh ... bener, ya elo Dena. Rada beda, sih. Lo apa kabar?" Di luar dugaan, cewek yang menghalangi Dena pulang malah menanyakan kabar sambil tersenyum, teman di belakangnya pun cekikikan.

All the Baffling Thing of Being Change✔ (WAS SAVAGE LOVE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang