Chapter Eighteen : A Damn Truth About All Bullshit(s)

916 81 17
                                    

Chapter Eighteen : ADamn Truth About All Bullshit(s).

Ini sudah hari terakhir Rendy fisioterapi, perkembangannya cukup baik. Sistem syarafnya sudah mulai berfungsi normal. Dena tentu bisa tersenyum senang. Berharap hal buruk tak akan datang lagi.

Mengubur segala fakta yang terjadi, melangkah menuju hari berkilau di depan sana, lalu menggengamnya.

"Den, gue rasanya kehilangan sesuatu," ucap Rendy sebelum berangkat.

Della mengernyit. "Apaan?" Perasaan Dena, Rendy tidak kehilangan benda apa pun.

"Memori," ucap Rendy. "Gue kayak ngelupain hal penting."

"Enggak usah diinget-inget, Bang. Lo mah sekarang lagi alay, mikir dikit puyeng. Makanya mendingan engga--"ucapan Dena dipotong.

"Gue juga enggak mau, tapi bayang-bayang itu muncul terus, seakan gue udah ngelakuin hal besar, entah salah atau benar. Tapi yang jelas, itu bener-bener penting," jelasnya. Dena paham apa maksud ucapannya, ia mengerti dengan baik.

Rendy sudah ingat mengapa ia bisa sakit: kecelakaan. Sudah banyak yang ia ingat sekarang, tapi ada beberapa yang ia lupa. Dan salah satunya, apa yang ia bicarakan barusan. Alasan mengapa semua hal ini terjadi.

Perlahan namun pasti, Rendy akan mengingat semuanya. Cepat, atau lambat kenyataan akan terkuak. Kebenaran akan terbongkar dan kebohongan memudar hilang.

Dan, di sinilah Dena, di rumah sakit dengan Shadiq dan Rendy, raganya memang di sini, tapi jiwanya melalang buana, memikirkan segala hal buruk yang akan terjadi.

Mereka berjalan beriringan, mengantar Rendy ke tempat di mana ia menjalankan terapinya. Degup jantung Dena tak beraturan, firasat yang sama ketika kejadian buruk saat itu menimpanya, semakin lama ia semakin larut dengan deburan kencang yang lambat-lambat mulai menusuk hatinya, membuat luka gores yang dalam.

langkah demi langkah telah dilaluinya, membawanya ke dalam ruangan putih itu, tak ada hal buruk yang terjadi, ini biasa saja, seperti hari sebelumnya.

Tak lama, ia keluar ruangan itu, berniat mencari angin segar. Menghirup dalam-dalam oksigen yang mampu ia hirup. Menjauhkan firasat buruk yang entah datang dari mana.

Dena duduk di bangku depan yang di sediakan, dekat kasir dan tempat pengambilan obat-obatan. Ramai yang dapat menggambarkan suasana kali ini, ia melirik ke kanan dan kiri. Banyak orang dilihatnya, mengambil obat, membayar, melewatinya, menunggu, dan banyak hal lain.

Orang-orang terus berdatangan, terkadang juga pergi. Memang, orang datang untuk pergi. Walau begitu, ia merasa sendiri. Merasakan sepi dan kosong mulai menggerogotinya.

Beberapa menit kemudian, ia kembali, tak lama lagi Rendy akan pulang. Dokter bicara kalau Rendy sudah mulai normal. Tapi, Rendy belum boleh melakukan aktivitas berat, seperti mengangkat beban, berlari terlalu kencang dan hal lainnya yang terkesan berat. Yah, tentu saja, mana mungkin pula ia melakukan hal semacam itu.

Dena, Shadiq, dan Rendy berjalan beriringan. Mereka berada di koridor rumah sakit yang bisa dilewati banyak orang, seperti koridor kelas. Tapi, saat ini tidak begitu ramai, hanya ada beberapa orang yang duduk menunggu dokter. Dena dan Shadiq tengah berbincang kala itu.

Mereka bertiga berjalan santai, hingga tiba-tiba Rendy yang berada di paling ujung di antara mereka berhenti. Tentu saja Shadiq dan Dena bingung, otomatis mereka berhenti juga.

All the Baffling Thing of Being Change✔ (WAS SAVAGE LOVE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang