twentysix : The Way to Feel Good

1K 80 12
                                    

twentysix : The Way to Feel Good.

Matahari mulai menelusup masuk ke dalam jendela yang lupa kututup gorden tadi malam.

Mampuslah, aku telat!

Aku buru-buru gosok gigi, cuci muka, ganti baju, dan pakai parfum.

Semuanya berjalan lancar dan hanya dua menit sebelum aku sadar kalau parfumku habis.

Matilah aku! Masa iya ke sekolah bau iler? Enggak, deh, enggak banget!

Inilah sulitnya hidupku sekarang, enggak ada siapapun yang peduli sama aku. Bahkan untuk bangunin sekolah dan menyiapkan sarapan.

Aku menuju kamar Ayah dan mengobrak-abrik lemari mencari parfum. Tapi, yang aku dapat malah celana dalamnya.

Ah, aku lupa! Parfum dia aja ditaruh di meja.

Akhirnya, aku menyemprot parfumnya--yang wanginya selalu aku tidak suka. Karena, itu memunculkan kenangan pahit tersendiri bagiku. Akan kujelaskan nanti, sekarang aku sedang buru-buru!

Persetan, bodolah bau bapak-bapak, yang penting aku enggak bau air liur!

Setelah siap, aku ke lantai bawah--semua kamar berada di lantai dua--mengambil susu dan roti di kulkas.

Rumahku sepi banget. Ayah sudah berangkat kerja, Ifa sama Vina enggak tau di mana, aku enggak peduli. Ada atau enggaknya mereka enggak terlalu berpengaruh.

Yang berpengaruh itu Bi Irene, ke mana dia?

"Yaampun, Den! Sorry saya lupa kalau Ahza juga sekolah!" pekik Bi Irene. "Tadi sibuk banget ngurusin Vina, dia lupa naruh buku pelajaran hari ini di mana!"

Ah, sudah biasa terlupakan. Bukan hal baru. Akhirnya juga Bi Irene bakal ngelupain aku karena terlalu asyik sama yang lain.

Aku yakin, lama-lama kalau keluarga ini pindah rumah, aku masih akan tidur di kamar dan enggak ada seorangpun yang sadar.

Sampai pemilik rumah baru datang dan kaget lihat aku di kamarku masih tidur, lengkap dengan kotoran mata dan air liur.

Lalu teriak, "MAKHLUK APA ITU?"

Yang akan kujawab dengan, "Beli rumah ini dapat bonus anak pemiliknya."

"Lumayan dapet bonus orang."

"Tolong rawat aku baik-baik."

Ah, lupakan.

"Enggak apa-apa, Bi. Aku berangkat, ya," seruku sambil menenteng tas yang isinya hanya dua buku dan satu pulpen nyolong.

"Duitny--" belum sempat Bi Irene menyelesaikan kalimatnya, aku sudah melajukan motor keluar gerbang--gerbangnya bahkan masih terbuka, pertanda Ayah baru saja mengantar Vina, dan Ifa.

Lalu, aku? Ah, aku bukanlah hal penting dikeluarga rumit ini.

Sampai di sekolah aku celingak-celinguk. Ini waktunya Ahza beraksi.

Aku manjat gerbang belakang dan berlari kecil, pelan-pelan....

Persetan, malah kelasku jauh banget di lantai tiga!

Untungnya, aku stay cool, guru yang lihat aku juga biasa aja. Enggak ada yang curiga kalau aku terlambat.

Sampai aku di depan kelas, aku lihat kelasku kosong, untungnya. Aku mendaratkan bokong di kursiku dengan selamat, tanpa hukuman.

"Dasar tablo segala telat," hina Ervin.

"Kenapa bisa telat, Za? Padahal enggak tidur malem, karena enggak punya pacar. Handphone lo juga sepi," hina Rakha.

All the Baffling Thing of Being Change✔ (WAS SAVAGE LOVE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang