Starbucks Coffee Shop, Gangnam-gu, Seoul, South Korea
Saturday, 15th February - 03.20 pmKim Hyejin POV
Seperti biasa, setiap sabtu dan minggu aku melaksanakan kerja paruh waktuku. Hari ini tempatku bekerja terlihat lebih ramai dengan pasangan muda, mungkin karena masih dalam suasana hari kasih sayang. Dan mungkin ditambah lagi promo yang tengah diberikan oleh tempat kerjaku sehingga tempat ini cukup ramai pengunjung.
"Hyejin, tolong antarkan pesanan ini. Kurasa pelanggan itu tidak mendengar alat pemberitahuan." Ujar Jungha dari meja bar ketika melihatku menuju ke arahnya setelah membersihkan meja pelanggan.
"Baiklah. Di mana?" Tanyaku sambil menaruh minuman di atas nampan yang ada di atas meja bar.
"Di sana." Tunjuk Jungha.
Terlihat familiar untukku. Bahunya. Seperti bahu miliknya. Tapi tidak mungkin dia kan? Ya, pastilah itu orang lain.
Aku berjalan menuju meja yang diberi tahu Jungha. Berdiri di sampingnya. "Tuan, pesanan anda." Ujarku.
Dia mendongakkan kepalanya. Kaget. Itulah ekspresiku saat ini. Ya Tuhan, kenapa dari sekian banyak kedai kopi, dia memilih tempatku bekerja? Kenapa?
"Hyejin,"
Panggilan dari bibirnya adalah salah satu hal yang aku rindukan. Ya, aku sangat merindukan alunan namaku yang keluar dari bibir tebalnya. Ya Tuhan, tidak. Dia telah menyakitiku. Jangan jatuh untuk kedua kalinya, Hyejin.
"Selamat menikmati, Tuan." Aku segera beranjak, tetapi pergelangan tanganku ditarik oleh seseorang. Ya, siapa lagi jika bukan dia.
Aku tetap tidak menatapnya.
"Bisa bicara sebentar?" Aku baru menoleh.
"Maaf, Tuan. Saya tidak mengenal anda dan saya masih memiliki banyak pekerjaan. Jadi, tolong lepaskan pegangan anda, Tuan." Ujarku baru menatapnya.
"Kalau begitu sepulang kau kerja." Ia baru melepaskan tanganku. Aku tak mengindahkan kata-katanya dan hanya berlalu melanjutkan pekerjaan.
Ya Tuhan, kuatkan aku hari ini.
Jam kerjaku habis saat pukul sebelas malam. Betapa terkejutnya aku saat aku berjalan menuju halte bis, tiba-tiba saja asa yang menarik bahuku. Sontak aku mendekap erat tas selempangku di depan dadaku. Lebih terkejut lagi saat mengetahui siapa laki-laki gila yang telah membuatku terkejut. Lee Hyukjae.
"Kita perlu bicara." Ujarnya.
"Apa yang perlu dibicarakan? Bukankah semua sudah jelas empat tahun yang lalu?" Ujarku berusaha tenang. Setenang saat aku mendengar penjelasannya dahulu.
"Hyejin, aku benar-benar merasa bersalah." Ujarnya dengan nada suara penuh penyesalan.
"Tidak perlu merasa bersalah lagi saat ini. Kita sudah sama-sama berbahagia dengan kehidupan baru kita." Ujarku.
"Aku tidak." Ujarnya menatap dalam manik mataku.
"Aku tidak peduli. Tapi aku bahagia dengan kehidupanku saat ini. Aku pergi." Aku berlalu meninggalkannya yang masih berdiri masih menatap kepergianku - mungkin.
Mengapa kau tak bahagia, Oppa?
***
Cheongdamdong, Gangnam-gu, Seoul, South Korea
Sunday, 16th February - 11.00 amHari ini Yoora mengajakku berbelanja kebutuhan berliburnya musim semi nanti. Ya, musim semi ini dia berencana untuk berlibur ke Jepang. Tadinya ia mengajakku, tapi aku sedang tidak ingin berlibur jauh, jadi aku terpaksa menolaknya.
"Hyejin, lihat! Bukankah rok itu lucu?" Yoora dengan semangat menunjuk rok yang dipajang di etalase toko.
"Hmmm, sedikit. Mungkin kau bisa melihat-lihat ke dalam." Usulku.
"Kau benar. Ayo!"
Hampir lima belas menit sudah kami berputar di dalam toko, tapi Yoora belum juga menentukan pilihannya.
"Yoora, ayo cepat! Aku sudah lapar!"
"Iya, tunggu sebentar. Menurutmu mana yang lebih bagus untuk baju blouseku tadi? Rok yang ini atau ini?" Yoora menunjukkan dua potong rok mini berwarna hitam tetapi memiliki model yang berbeda. Saking lelahnya aku menemani Yoora memilih pakaian aku dengan asal memilih salah satu rok tersebut.
"Ah!! Pilihan yang bagus! Kau memang memiliki selera fashion yang bagus, Sayang!"
Apa? Jadi bukankah itu berarti sejak awal Yoora sudah menempatkan pilihannya pada rok yang aku tunjuk? Tapi kenapa butuh waktu selama itu?!
Perlu kalian tahu, aku suka berbelanja, tetapi jika sedang dalam mood. Dan jika aku berbelanja, apa yang aku suka akan aku beli - setelah mencobanya tentu - tanpa harus mencari-cari yang lebih baik. Aku tahu itu perlu, tetapi walaupun aku mencari-cari pastilah aku tidak membutuhkan waktu belasan menit seperti Yoora.
Setelah membeli rok yang Yoora inginkan kami memutuskan untuk makan terlebih dahulu di restaurant italia yang jaraknya lima toko dari toko pakaian tadi. Kami memilih duduk di samping jendela. Aku memesan Fettuccine Alfredo, sedangkan Yoora memesan Cannelloni dan juga Caesar Salad. Untuk minuman kami memesan Fruit Punch.
"Hyejin, aku lupa menannyakanmu. Bagaimana hadiahku kemarin?" Yoora dengan semangat bertanya setelah kami selesai memesan.
"Sudah kuberikan." Jawabku malas.
"Apa yang dia katakan? Apa dia menyukainya?"
"Ya kurasa."
Tidak mungkinkan aku menceritakan bahwa laki-laki menyebalkan itu salah menyangka? Bisa-bisa Yoora merajuk padaku.
"Ya Tuhan, andai kemarin aku tidak jatuh sakit, pasti aku akan memberikannya sendiri dan melihat wajah tampannya yang tersenyum dan berkata "Terima kasih, Yoora. Aku menyukainya." Ya Tuhan, betapa senangnya aku!" Yoora berbicara sambil menatap langit-langit restaurant.
"Cih, tampan apanya!" Gerutuku.
"Apa?" Tanya Yoora.
"Tidak. Tidak ada."
"Yoora," panggilku setelah kami terdiam untuk beberapa saat setelah minuman kami datang.
"Ada apa?" Tanya Yoora setelah ia menyesap sedikit minumannya.
Aku menatap Yoora. Haruskah aku menceritakan tentang dia yang kembali? Tapi aku sungguh sudah tidak ingin lagi membahasnya. Tapi Yoora sahabatku, jadi kurasa tak ada salahnya memberitahu dia.
"Dia kembali, Yoora." Ujarku akhirnya.
"Siapa?"
"Lee Hyukjae."
"Apa?! Bagaimana bisa?!" Kaget, sama sepertiku kemarin.
"Aku bertemu dengannya jumat kemarin di kampus. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan di sana, kemudin aku bertemu lagi dengannya di cafe tempatku bekerja kemarin."
"Apa yang dia katakan?"
"Dia meminta maaf dan berkata bahwa dia tidak bahagia. Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi kulihat memang sepertinya begitu."
"Dia tidak bahagia?" Aku hanya menganggukkan kepala.
"Ya Tuhan, dia masih berani menemuimu setelah apa yang dia lakukan padamu?!" Ujar Yoora kesal. Aku hanya terdiam menatap keramaian kota di sana. Benar apa kata Yoora, bagaimana dia masih berani bertemu denganku setelah dia mencampakkanku.
Cling... Cling...
"Ayo, Paman! Aku sudah lapar!" Teriak seorang anak kecil sambil berlari memasuki restaurant italia ini.
"Sabar dulu, Gaeul!" Suara itu? Apa yang dia lakukan di sini?