Don't Want! -12-

15.5K 1.6K 240
                                    

[Tokiya]


Aku berlari menuju ke kelas untuk bersiap-siap mengikuti pelajaran jam berikutnya sambil bersiap-siap memberitahu Hisoya dan Muraki. Dengan perasaan yang berbunga-bunga, begitu senang aku berlari sambil bersenandung.

"Ah, I-Ichimatsu-kun!"

Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang, tepatnya ke sumber suara yang tiba-tiba memanggilku. "Ada apa Koyama?" tanyaku pada seorang siswi yang sekelas denganku. "Uh... Ichimatsu-kun, Arakita-kun memanggilmu. Apa kau bisa datang menemuinya di ruang OSIS?" ujar Koyama dengan gugup. "Sekarang? Ada perlu apa presiden busuk itu mencariku?", "E-Entahlah tapi lebih baik kau segara pergi menemuinya!" setelah menyampaikan pesan Koyama pergi meninggalkanku. Aku memutar badan, menghiraukan perintah Arakita si presiden busuk itu dan kembali berlari ke kelas.

Sesampainya di kelas aku melihat Muraki dan Hisoya sedang membaca komik sambil tertawa. Aku menghampiri mereka, mengejutkan mereka namun nampaknya tidak berhasil.

"Ehehehe~~"

"Ada apa? Kenapa kau senyum-senyum sendiri begitu?"

Aku menarik satu kursi kosong dari meja murid lain dan duduk bergabung bersama dengan Hisoya dan Muraki. Hisoya mengernyitkan alisnya kesal sementara Muraki kembali membaca komiknya. "Kau bertanya kenapa??" ujarku. "Hah! Lupakan saja, aku yakin kau pasti senang karena hal bodoh~" balas Hisoya mengibaskan tangannya. Aku menekuk wajahku dan menyerobot komik yang sedang ia baca. "Oi! Tokiya!" seru Hisoya dengan kesal, "Aku senang bukan karena hal bodoh! Tapi hal yang super super luar biasa!" balasku.

"Super luar biasa?" Muraki mengalihkan pandangannya dari komik ke arahku. Aku mengangguk dengan semangat, "Bohong! Tokiya-kun, hal super apa yang membuat senang? Jangan bilang hanya karena kau berhasil beli roti yakisoba kau jadi melebih-lebihkan!" komentar Hisoya. "Hah! Kalian memang sahabat yang tidak berguna!" balasku kesal.

"Sudah, sudah, Hisoya, Tokiya berhenti bertengkar." Muraki menghentikan cekcokku lalu memintaku menceritakan hal bagus apa yang terjadi hingga aku terlihat begitu senang.

"Aku resmi berpacaran dengan Na-ru-fu-mi!" ujarku

Muraki dan Hisoya melempar tatapan tak percaya dan bingung ke arahku, lalu saling berpandangan dan menggelengkan kepala mereka. "Tidak, tidak, hal seperti itu tidak mungkin terjadi. Ya, kan Mucchi?" ujar Hisoya, Muraki mengangguk setuju. "Tokiya, apa kau terkena demam?" tanya Muraki. Aku mendobrak meja dan menggertakan gigi ke arah mereka.

"T-Tokiya-kun?"

"Aku tidak berbohong!"

"Tokiya tenangkan dirimu,"

"Aku sungguh-sungguh berpacaran dengannya!" seruku hingga seluruh kelas yang sebelumnya bising menjadi tenang seketika. Setelah itu beberapa siswa dan siswi mulai bergossip sambil menertawakanku. Aku menatap Muraki dan Hisoya yang terperanjat kaget dan kehilangan kata-kata.

"A-Ah, kalau kau memang berpacaran dengannya itu kabar bagus." komentar Hisoya kemudian tersenyum canggung. Muraki hanya diam menatapku beberapa saat lalu kembali membaca komiknya lagi.

Memang sulit dipercaya... Narufumi yang begitu populer dan siswa teladan yang baik berpacaran dengan siswa berandal bodoh macam diriku. Tapi itu kenyataannya! Kenyataannya dia memang menyukaiku...

"Aku menyukaimu, Senpai."

Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat, menggigit bibir bagian bawah untuk menahan emosiku lalu berlari keluar kelas.

(*)

Ding-dong-Ding-dong—Bel jam pelajaran akhir telah usai terdengar.

"Berdiri!" Semua siswa bergegas bangun dari duduk mereka, "beri salam!" mereka mulai berseru, "Terimakasih banyak, Sensei!". "Sampai jumpa besok! Jangan lupa segera kumpulkan kertas pilihan karir kalian besok lusa." balas Pak guru sambil berjalan keluar dari ruang kelas.

The Love That Won't Be Apart [ 3 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang