We Won't be Apart (End)

13.9K 1.5K 221
                                    

[Tokiya]

.

.

Aku menatap pantulan diriku di cermin hampir 10 menit lebih. Bagaimanapun juga aku tidak menyangka hari ini akan tiba-hari di mana aku akan berpisah dengan semuanya.

.

.

The Love That Won't be Apart-Last Chapter-We Won't be Apart.

.

.

Meskipun aku bilang berpisah dengan semuanya, kenyataannya cuma berpisah dengan status pelajar ke status pengangguran... lebih halusnya, rounin.

"Kenapa aku selalu begini menyedihkan..." gumamku sambil membetulkan jas almamater sekolah. Pada akhirnya seperti yang sering dikatakan orang kalau penyesalan selalu datang terlambat. Aku menyia-nyiakan waktuku untuk hal-hal yang tidak penting, aku baru menyadari sekarang...kalau akibat tidak sebebas pilihan. "Tahu begini, sejak kelas dua aku rajin belajar, pasti aku bisa diterima di universitas Tokyo atau setidaknya aku punya universitas lain dalam benakku." Gumamku lagi.

Meskipun gagal dan berakhir menyedihkan seperti ini, aku tidak sepenuhnya dipenuhi dengan penyesalan.

"TOKI-YA! CEPAT TURUN! RYOU-KUN SU-DAH DATANG!" teriak ibu dari lantai bawah. "YA-!" seruku membalas, kemudian dengan tergesa-gesa berlari mengambil tas dan berlari keluar kamar. Menuruni anak tangga dengan jantung yang berdebar-debar.

"Jangan tergesa-gesa begitu! Lihat, jasnya jadi kusut lagi kan!" omel ibu saat melihatku tergesa-gesa menuruni anak tangga. "Narufumi sudah datang, kan?!" tanyaku seraya merapihkan lagi jas yang agak kusut. "Dia menunggu di luar," jawab ibu. "Kenapa tidak disuruh masuk?! Di luarkan dingin, ibu bagaimana sih!" balasku, lagi-lagi terburu-buru pergi untuk melihat Narufumi.

Aku membuka pintu depan dan membiarkan sinar matahari masuk mengikuti celah pintu yang sekarang makin lebar. Sosok tinggi dan berkharisma yang tidak asing itu membalikkan badan, menatapku lalu tersenyum.

"Selamat pagi, Tokiya-senpai." Sapanya.

Aku tidak sepenuhnya dipenuhi dengan penyesalan-

"P-Pagi," balasku gugup tanpa alasan yang jelas.

"Hari ini kau terlihat sangat tampan." Pujinya,

"Hah?! Setiap hari aku terlihat sangat tampan, bodoh!" protesku

Karena dia, karena Narufumi Ryou, bocah kelas satu-ah, sekarang dia jadi anak kelas dua, kah. Intinya karena bocah ini aku tidak sepenuhnya menjalani hidup dengan penyesalan.

"Apa sudah siap?" tanya Narufumi, "ah, aku akan pamit ibu dulu." Aku berlari masuk ke dalam untuk berpamitan dengan ibu. "Ibu, aku pergi duluan ya! Jangan terlambat datang!" pesanku pada ibu yang sedang sibuk menata rambutnya. "Toki, tunggu dulu!" panggil ibu, aku menghentikan kakiku dan menatap ibu, "ada apa lagi??" tanyaku. Ibu berlari menghampiriku lalu tanpa diduga memeluk.

"I-Ibu?!" seruku bingung dan terkejut.

"Ahhh.... ibu benar-benar bangga padamu... terimakasih, terimakasih Tokiya." Ujar ibu, mendengarnya bicara seperti itu tiba-tiba, entah kenapa dadaku jadi terasa sesak. Sesak dalam artian ada sesuatu dari dalam yang mendesak, meluap-luap, membuat bulu kudukku berdiri.

"A-Aku...tidak melakukan apapun yang membanggakan..." balasku sedikit malu, tapi memang kenyataannya aku tidak bisa membanggakan ibu. Ibu melepaskan pelukannya lalu menatapku dengan mata berkaca-kaca, "aku selalu bangga padamu! Haha! Kau sudah tumbuh sebesar ini, kau bahkan lulus SMA hari ini! Aku bangga sekali padamu!" Aku tidak pernah menyadari aku sudah lebih tinggi dari ibu dan ibu punya kerutan di wajah cantiknya, selama ini apa yang sebenarnya kulakukan?

The Love That Won't Be Apart [ 3 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang