"Kamu kapan nikah?"
Acara makan malam hari ini selalu sama seperti makan malam sebelumnya, pertanyaan serupa sudah terlalu sering ia dengar, dan ia bosan. Helaan nafas terdengar bersamaan dengan suara gaduh sendok garpu yang sengaja dibanting kasar ke atas piring.
"Bunda gak capek, tanya hal yang sama setiap hari? Yuki yang denger aja capek, masa bunda yang ngomong enggak." Wanita bernama Yuki itu meraih gelas yang berisi air putih dan meminumnya hingga tandas.
Mendadak, Yuki kehilangan nafsu makannya.
"Apa salah kalau bunda selalu tanya hal seperti ini ke kamu? Lihat KTP kamu, terus lihat tahun kelahiran kamu, dan coba hitung, 2016, tahun sekarang dikurangi dengan angka tahun lahir kamu, berapa jumlahnya?" Rina, meletakkan sendok garpunya dengan anggun di atas piring, kemudian menyangga dagunya dengan kedua tangannya.
"Bunda, gak usah pakai hitungan segala buat ngingetin berapa umur Yuki, Yuki bukan anak kecil yang lupa dengan umurnya sendiri." Ucapnya dengan nafas menderu.
"Kalau kamu tahu, sekarang bunda tanya, berapa usia ideal seorang laki-laki dan perempuan menikah?" Yuki terbelalak tak percaya dengan apa yang pertanyaan bundanya.
Anjirr! Hanya kata itu yang terpikir diotaknya.
"Ayah, kenapa malah diam aja?! Bantuin Yuki kek!"
Rendra hanya bisa membuang nafas, setiap hari selalu hal ini yang ia dengar di meja makan, dan Rendra merasa lelah.
Mempunyai istri yang bisa dikatakan cerewet dengan anak perempuan yang selalu menjawab setiap pertanyaan membuat pria paruh baya itu tak bisa berbuat apa-apa. Jabatannya memang kepala keluarga, tapi penguasa tertinggi adalah Rina, dan tugas Rendra tak lebih sebagai penyemangat dan penyumbang dana.
"Sudah, kalau kalian mau berdebat di luar sana, kita sedang makan, jadi jangan sia-sia kan energi kalian, karena pasti kalian akan kembali merasa lapar."
"Ayah?!" Yuki dan Rina memandang Rendra dengan tatapan sama-sama tajam, sedang yang ditatap hanya mengendikan bahu acuh kemudian memilih untuk menghabiskan makanannya.
"Bunda itu cuma pingin cepet nimang cucu Yuki?! Apa bunda salah? Kamu gak kasihan liat ayah sama bunda?! Bunda itu sering ngerasa kesepian kalau kalian tidak dirumah, bunda cuma butuh teman." Rina kembali berucap menggebu, membuat Yuki tak tahan dibuatnya.
Alasannya lebih suka tinggal diapartemen daripada dirumah adalah semua hal menyedihkan ini.
"Bunda please, stop being awful?! Yuki akan menikah," wajah Rina berbinar seketika saat anaknya mengucapkan pernyataan yang selalu dinantinya itu, "tapi nanti, kalo Justin Bieber yang ngelamar Yuki!" Yuki menghentakkan kakinya, kemudian mendorong kursi menjauhi meja dan pergi meninggalkan acara makan malamnya yang baru saja ia nikmati dua suap.
"Baiklah, suruh si Justin Justin itu kesini buat lamar kamu?!" Yuki menghentakkan kakinya kesal, akh... bundanya ini kuper atau apa? Justin Bieber melamarnya? Mimpi!
Tak tahukah bundanya jika itu adalah kata kiasan yang berarti Yuki masih belum mau menikah? Justin Bieber melamarnya? Mengenalnya saja tidak!
"Udahlah bund, jangan paksa Yuki, bunda bakalan terus dilawan kalau cara bunda kayak gini."
Rina mendelik marah menatap Rendra yang seperti tidak setuju dengan perilakunya.
"Ayah sama anak sama aja, disini, bunda ngerasa jadi orang jahat jadinya." Gurat kesedihan muncul di wajah ayu Rina. Wajah yang sudah mulai menua itu membuat Rendra menghembuskan nafasnya lagi, tak tega.
"Nanti kita cara yang lebih halus untuk membujuk dia, untuk sekarang biarin Yuki sibuk dengan pekerjaannya, ya?" Rendra mengelus punggung tangan Rina. Menyalurkan energi positif yang mungkin saja bisa membuat Rina merasa lebih tenang.
Sementara itu, Yuki tengah tidur tengkurap di ranjangnya, bibirnya tertekuk, sedang matanya terlihat sayu.
Pandangan matanya tertuju pada bingkai foto yang terletak di nakas samping tempat tidurnya, sebuah foto yang diambil sekitar 7 tahun yang lalu, saat ia masih SMA.
Disana seorang laki-laki berbadan tegap dengan senyum gembira sedang merangkul seorang wanita dengan gaya uniknya, dialah Yuki dan laki-laki disampingnya adalah Marcell, cinta pertamanya.
Sejak kelulusan Marcell menghilang, memilih untuk melanjutkan kuliah di Belanda, sedang dirinya masih tetap di Indonesia. Selama 7 tahun, mereka lost contact, dan kabar terakhir yang Yuki dengar tentang Marcell adalah pria itu sudah bertunangan dengan Laudya, yang notabene adalah sahabat Yuki di SMA.
Jangan ditanya bagaimana perasaan Yuki saat mendengar berita itu, dua hari dua malam, wanita menyedihkan itu mengurung diri di kamar setiap pagi menjelang sore hari, dan malamnya dia memilih untuk menghabiskan waktu di kelab untuk hanya sekedar bersenang-senang.
Dia baru berhenti saat minuman keras hampir saja membuatnya kehilangan tenaga karena muntah sepanjang hari, sejak saat itu ia kapok, dan tak akan pergi ke tempat terkutuk itu lagi untuk minum-minum.
Isakan lirih terdengar dari tubuh Yuki, akh... wanita itu kembali menangis, merutuki kebodohannya yang dari 7 tahun yang lalu hingga sekarang belum bisa melupakan Marcell.
Jika ada yang mengatakan jika cinta pertama sulit dilupakan, Yuki akan langsung mengangguk mantap, ia sangat setuju. Melupakan cinta pertama yang hanya bisa dipendam selama 10 tahun itu menyakitkan. Dan mungkin, hanya keajaiban takdir yang mampu menyembuhkan rasa sakit hati itu.
Yuki mengambil malas smartphone-nya saat terdengar deringan keras dari benda Itu. Sejenak wanita itu menyeka buliran air mata yang sempat menetes kemudian menggeser tombol hijau dan mendekatkannya ketelinga.
"Halo..., kenapa Prill?!" Sebisa mungkin Yuki berusaha untuk membuat suaranya terdengat biasa.
"Dimana loe?! Jalan yuk bosen gue dirumah."
"Lha, laki loe kemane?!"
"Ali lembur lagi, gue curiga sama si onta itu, jangan-jangan dia selingkuh lagi. Satu minggu ini lembur terus, gue ditinggal sendirian dirumah."
"Hush... omongan itu doa tau, jangan gitu, posthing napa sih?! Laki loe itu kerja buat elo sama calon anak loe itu, jadi jangan punya pikiran kayak gitu."
"Ya gue tahu, tapi elo gak ngerti Yuki, perempuan hamil itu sensitif tahu, elo sih belum pernah rasain. Makanya cepet kawin sono, biar elo ngerasain gimana kesiksanya jadi ibu hamil."
Degh...
Kalimat Prilly menohok langsung ke ulu hatinya, belum sembuh rasa marahnya karena bunda, sekarang Prilly sahabatnya malah terasa seperti sama seperti bundanya.
"Mulai deh loe, gue belum mau nikah?! Masih pingin bebas, gak kayak elo yang sukanya ngeluh terus masalah laki."
"Semabarangan loe! Udah loe ke rumah gue aja sekarang, gue jadi males mau pergi, pengen nonton drama korea, tapi sama elo."
"Yaelah bumil, ribet beud ya?! Gue kesana sekarang, gak usah monyong-monyong tu bibir."
"Sok teu loe! Lihat aja kagak, main ngatain aja."
Bip....
Yuki mematikan sambungan telefonnya, kemudian segera bersiap. Daripada diam di rumah dan membuatnya rundung gundah gulana, mending ke rumah Prilly dan menginap disana.
Masalah besok pagi dia melihat adegan memuakan, tak masalah. Toh dia sudah biasa....
~~~~~~
Best Regards,
AstiPandaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuanku (END)
FanfictionApa yang terjadi jika cowok SMA yang baru menginjak kelas XII dan masih berumur 18 tahun, jatuh cinta pada wanita dewasa yang berumur 25 tahun?! Apakah mereka bisa memiliki pemikiran yang sama? Akh... jangan terlalu jauh dulu, apakah cowok SMA itu b...