Yuki melangkahkan kakinya malas. Hari ini adalah tepat satu bulan Algha meninggalkannya. Rasanya memang sangat berbeda. Hidupnya sudah berubah. Bahkan Yuki lebih sering berkutat dengan pekerjaannya.
Contohnya hari ini, sudah waktunya makan siang dan Yuki masih bergeming menatap komputer di meja kerjanya.
"Wei! Serius amat, buk?" Vebby menepuk pundak Yuki yang terlihat tegang. Wanita itu lalu menyeret kursi plastik di samping meja Yuki dan duduk di sana.
Tak ada jawaban dari Yuki, merasa terganggu dengan decitan kursi pun tidak.
"Ibu sekertaris yang saya hormati. Udah waktunya makan siang. Jangan terlalu serius gitu napa, sih?" Vebby masih berusaha menarik perhatian Yuki.
"Gue masih banyak kerjaan, Veb! Kalo mau makan lo aja sana," ucap Yuki tanpa merubah arah pandang matanya.
"Lo sekarang gak asyik. Kenapa, sih? Kok gue liat dari satu bulan yang lalu lo lemes banget. Kayak gak semangat hidup tahu gak?"
Semangat hidup gue udah mati. Ikut terkubur dengan ... ah! Vebby kurang ajar!
Yuki mulai merasakan matanya memanas. Perasaannya jadi lebih sensitif dari apa yang dia kira.
Merasa tak ada tanggapan, Vebby akhirnya menyerah dan memilih pergi. Selepas perginya Vebby, Yuki menangis. Menumpahkan seluruh kerinduannya dalam tangis.
Melupakan tak semudah menggugurkan daun dari pohon jarak. Karena jika bukan karena daunnya kering maka tarikan paksa akan membuat pohon mengeluarkan getah, yang malah menodai dia yang sengaja memetiknya. Noda yang bahkan akan sulit untuk dihilangkan.
Seandainya Yuki bisa memilih kapan ia dilahirkan, seandainya waktu bisa diulang, seandainya dia terlahir sebagai pria dan Algha wanita. Mungkin kebersamaannya dengan Algha akan jauh lebih terasa.
Sayangnya seandainya yang Yuki ucap tak akan pernah bisa menjadi harapan yang terwujud. Karena Alghanya sudah tiada, dan hati Yuki ikut terkubur bersama dengan jasad Algha yang terbungkus kain putih. Baju terakhir yang dipakai oleh sebagian manusia yang ada di seluruh penjuru dunia.
***
"Aduh!"
Yuki berdecak saat kantong kresek yang dia pegang jatuh mencium lantai keramik sebuah Supermarket. Tempat di mana Yuki baru saja membeli keperluan sehari-hari.
Seorang pria dengan stelan jas berdiri angkuh di hadapan Yuki yang jongkok membereskan barang belanjaannya yang berserakan.
"Jalan tu pakai mata mangkanya. Jangan asal ngelangkah aja," suara bass khas pria dewasa mengusik pendengaran Yuki.
Yuki menghembuskan napas panjang. Menetralkan emosinya yang rasanya sudah berada di ubun-ubun. Padahal, menurut Yuki, yang salah adalah orang yang saat ini berdiri didepannya tanpa ada niatan untuk membantu.
Kenyataannya siapa yang salah tidak ada yang tahu. Karena memang dua orang manusia itu berjalan tanpa melihat keadaan di sekitar. Yuki berjalan sambil melamun, sementara orang itu berjalan sambil bermain handphone.
Wanita itu sama sekali tak berniat menengadahkan kepala, karena tangannya sibuk memasukkan barang ke dalam kantong kresek yang sialnya sudah robek.
Yuki semakin gondok saat pria angkuh itu berjalan melewatinya tanpa peduli dengan belanjaan Yuki yang harus diletakkan di mana.
Sekali lagi, Yuki menghembuskan napas. Mencoba untuk menghilangkan api yang mulai membakar tubuhnya.
"Gak ada yang lebih sial dari semua ini? Ini semua karyawan di sini lagi pada buta kali, ya. Pelanggan kesusahan gak ada satupun yang berniat membantu." Yuki berceloteh sambil terus berusaha memasukkan beberapa mie instan dan keperluan dapur lainnya yang kantong kreseknya semakin mengenaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuanku (END)
FanfictionApa yang terjadi jika cowok SMA yang baru menginjak kelas XII dan masih berumur 18 tahun, jatuh cinta pada wanita dewasa yang berumur 25 tahun?! Apakah mereka bisa memiliki pemikiran yang sama? Akh... jangan terlalu jauh dulu, apakah cowok SMA itu b...