Chapter 11 - Witing Tresno

2.5K 310 33
                                    

Algha menatap sendu pada Yuki yang tengah terlelap di ranjangnya. Sesekali, tangannya mengelus pundak wanita itu. Mata sembab akibat tangis, masih terlihat begitu jelas di wajah cantiknya yang lelah.

Tangan Algha meraih smartphone di saku celananya, kemudian menjelajah list contact. Setelah menemukan apa yang ia cari, Algha menekan gambar gagang telefon dan mendekatkan ke telinga.

"Haloo..." dari suaranya, Algha tau jika si penjawab telefon sedang dalam keadaan terlelap sebelumnya.

"Jemput gue di apartement Yuki." Tanpa basa-basi Algha langsung memutus sambungan telefonnya setelah berucap, dan kembali meletakkan benda pipih berwarna hitam itu ke dalam saku celananya.

Perlahan, Algha mendekatkan wajahnya ke kepala Yuki, dikecupnya singkat kening Yuki penuh sayang, dan beranjak dari posisinya. Algha berjalan hati-hati menuju pintu, dan membuka knop pintu tanpa menimbulkan suara gaduh.

Setelah berada di luar, Algha berjalan santai menuju lift dengan tangan kiri berada dalam saku celana, dan tangan kanan mengurut pelipis. Sesekali helaan nafas kasar terdengar dari mulutnya. Pikirannya seakan menarik alam bawah sadarnya untuk memutar kejadian 30 menit yang lalu.

Jangan ditanya bagaimana perasaan Algha sekarang, pemuda itu merasakan bahagia dan sedih dalam waktu yang bersamaan. Perkataan yang dilontarkan Yuki saat wanita itu memeluknya seakan menjadi sebuah nyanyian sendu yang terus memggaung di telinganya. Bahkan suara itu seakan terasa seperti mengalir melalui aliran darahnya dan berhenti tepat di jantungnya. Rasa nyeri itu masih terasa dan sangat menyiksa.

Algha kembali menghela nafasnya, saat dirinya sudah berada di depan gedung. Matanya menyapu setiap manusia yang berlalu lalang di sana. Berharap jika salah satu diantara mereka adalah orang yang begitu ia harapkan kehadirannya.

"Woy! Setan loe! Jam segini masih keluyuran. Darimane loe? Pake jas segala lagi, udah ngebet mau kawin loe?!" Elang datang dengan nafas yang memburu, saat baru saja ia memakirkan motor matic kesayangannya, dia menatap sosok Algha keluar dari gedung apartement dengan wajah yang sayu.

Tak ada jawaban dari Algha, pemuda itu malah asyik menatap Elang dengan wajah innoncent-nya. Jika saja dirinya dilahirkan sebagai seorang wanita mungkin saat ini ia akan menangis tersedu, dengan dada Elang sebagai sandaran. Tapi, kenyataan jika ia bukan wanita membuat Algha mengurungkan niatnya. Ia hanya bisa menatap Elang dengan wajah tanpa ekspresi.

Bukan Elang namanya jika ia tak tahu perasaan seperti apa yang dirasakan oleh sahabatnya itu. Wajah Algha memang tak memperlihatkan ekspresi apapun, tapi matanya selalu tak pernah bisa menipu. Mata sendu itu membuat Elang mengembuskan napasnya pelan.

Kalimat sumpah serapah yang baru saja ingin ia lontarkan kembali tercekat di tenggorokan, dan mencair menjadi air liur yang kemudian ia telan.

"Pulang sekarang? Atau...?"

"Cari minuman anget dulu yuk."

Elang mengangguk mantap kemudian berjalan dengan menyeret tangan Algha menuju motor maticnya. Sungguh jika ada manusia yang tak mengenal mereka dan melihat dua bocah itu, orang akan melihat jika mereka adalah anggota kelompok homogen.

Di sinilah mereka sekarang, duduk di sebuah Kafé dengan sedikit pendar cahaya ditemani oleh dua gelas hot chocolate yang asapnya masih kentara mengepul menyetak udara malam.

Hening, baik Algha maupun Elang tak ada yang berusara. Kedua bocah itu sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Elang mengembuskan kembali napasnya untuk kesekian kali. Sejujurnya, ia ingin bersuara, tapi bingung harus dimulai dari mana.

Algha meminum hot chocolate-nya dengan mata terpejam, rasa manis dan pahitnya coklat ditambah kondisi minuman yang hangat seakan menyelimuti tubuhnya, sesaat Algha merasakan bebannya sedikit terangkat.

Perempuanku (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang