Chapter 14 - Membuatnya Tersenyum

2.4K 296 48
                                    

Yuki hanya bisa menghela napas saat dilihatnya dua orang manusia tertidur dengan posisi saling tindih kaki di kasur pompa yang diletakkan di samping ranjangnya.

Kepalanya terasa pening tak keruan sejak sehari kemarin dia pinsan terus-terusan. Merasa tak bisa berbuat apa-apa, akhirnya Yuki membiarkan dua manusia itu tidur di apartement-nya.

Saat menstruasi Yuki selalu saja mengalami kepayahan. Bukan cuma tubuhnya yang lemas tapi juga imun tubuhnya berkurang.

Tok... tok... tok...

Alis Yuki menyatu saat telinganya menangkap suara pintu yang diketuk dari luar. Hembusan napas malas kembali terdengar. Dilihatnya jam di dinding, masih menunjukkan pukul 7 pagi. Beruntung, hari ini minggu, jadi, Yuki tak perlu susah payah untuk melakukan kegiatan apapun di pagi hari. Termasuk mandi.

Suara ketukan itu kembali terdengar. Yuki berdecih, tangannya menyingkap selimut dan segera beranjak dari ranjang menuju pintu.

Yuki membulatkan matanya saat dilihatnya Bunda berdiri di depan pintu dan menatapnya cemas.

Njirr... bunda... mampus gue!

"Eh... bunda. Da-dari mana bun?!" ucap Yuki dengan suara bergetar. Tangannya sigap menutup pintu apartement-nya.

Dia tidak mau bunda tahu jika ada dua orang pemuda sedang berada di apartement-nya, karena itu sama saja bunuh diri. Yuki tidak mau dikira pedofil atau tante girang yang menang arisan brondong.

"Dari rumahlah. Pertanyaanmu loh! Kamu udah lupa sama rumah? Mentang-mentang tinggal di apartement. Udah gak butuh bunda sama ayah?! Hgg... ! Ucap Rina menggebu. Bahkan wanita lanjut usia itu tak peduli jika saat ini mereka berdua tengah berada di depan pintu. Beberapa orang yang tak sengaja lewat hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dan, menatap Yuki seakan berkata 'dasar anak durjana'.

"Aduh! Bunda... masih pagi. Gak enak sama tetangga." Yuki berucap dengan suara lirih yang penuh tekanan.

"Biarin aja! Biarin mereka tahu kalau bunda punya anak yang gak sayang orang tua." Rina semakin mengeraskan suaranya.

Merasa kualahan, Yuki menggamit lengan bundanya dan menggiringnya pergi menuju basement gedung menggunakan lift. Mulut Yuki berceracau seturut dengan apa yang sedang dia pikirkan.

Rina, hanya menanggapi dengan kening berkerut.

"Yaudah... sekarang bunda pulang ya?"

Sadar jika saat ini mereja sudah di parkiran mobil. Rina melotot garang. "Kamu ngusir bunda?!" ucapnya dengan raut wajah sendu.

"Bukan ngusir. Tapi Yuki bentar lagi mau keluar bund. Ada janji sama Dewa." Dustanya lancar dengan jari telunjuk dan tengah tangan kanan terkait. Entah kenapa Yuki seperti menemukan cara yang pas untuk mengusir halus bundanya.

"Ya bilang dong kalau mau keluar sama Dewa. Kamu sreg ya sama dia?" raut wajah Rina mendadak berbinar kala nama Dewa anak dari salah satu teman arisannya disebut.

"Hgg... liat nanti lah bun." Yuki menggaruk pelipis kanannya. Wajahnya mendadak menyedihkan saat bundanya berkata sesuatu yang tak bisa ia jawab.

"Dia anaknya baik. Bunda setuju kalau kamu sama dia. Apalagi, mamanya Dewa itu juga baik banget sama bunda. Terus... jago bikin kue. Pokoknya nanti kamu harus belajar buat kue sama Tante Indri. Oh iya... apa bunda ngundang mereka buat makan malam di rumah ya besok? Kayaknya seru." Rina berucap dengan semangat 45. Sementara Yuki sudah mulai memucat. Wanita itu hanya bisa menelan ludahnya susah payah.

"Ya... ya... ya... terserah bunda. Sekarang bunda pulang aja. Tu kasian Pak Jaya nungguin bunda kelamaan. Pak Jaya! Hai...." Yuki melambai ke arah Pak Jaya, supir sewaan tetangga rumah yang selalu bisa di andalkan. Salah satunya, mengantar Rina kemanapun dia pergi saat suaminya tak bisa mengantar.

Perempuanku (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang