Chapter 21 - Benar-benar Menyerah?

1.9K 270 46
                                    

Algha merasa tak tega. Tapi gemuruh amarah itu masih terasa bayangan Yuki yang dipeluk dan dicium pria lain masih begitu menusuk di ulu hatinya.

Pemuda itu mencoba membutakan matanya.

Yuki merasakan hatinya patah untuk yang kedua kali. Tapi entah kenapa yang ini rasa sakitnya jauh lebih terasa. Yuki tersenyum getir dalam tangisnya.

***

Semua ada masanya. Ada waktu untuk menangis. Ada waktu untuk tertawa gembira. Ada waktu untuk terluka. Seperti saat apa yang Yuki rasakan saat ini. Hatinya sakit. Dan rasanya seperti sesak dan susah untuk diungkapkan.

Bayangan Algha yang membonceng seorang gadis imut yang Yuki yakin pasti lebih muda atau bahkan seumuran dengan Algha. Yuki tak akan lupa bagaimana saat Algha menatapnya. Tatapan penuh luka.

"Hah... Tuhan sedang gak berpihak sama gue." Desis Yuki disela kesakitannya.

Tok... tok... tok...

Yuki menoleh ke arah pintu apartement. Tapi dia enggan untuk beranjak dan membuka pintu. Tubuhnya terasa lemah. Bukan. Bukan tubuhnya tapi hatinya. Dan saat hati merasa lelah tubuhpun ikut kena imbasnya.

Ketukan pelan itu berubah menjadi gedoran ringan. Yuki menghela napas kembali. Bukannya beranjak untuk membuka pintu, Yuki malah menenggelamkan wajahnya di lekukan lutut. Dan Fix Yuki terkena kegalauan akut.

"Yuki!" Bersamaan dengan panggilan di luar pintu. Suara gedoran itu berubah lebih memekakan telinga.

"Gak ada orang di rumah. Lo pergi aja!" teriak Yuki tanpa peduli membuat orang di balik pintu geram.

"Lo pikir gue gila! Buka pintunya gak?! Atau gue dobrak pake perut gue?!"

"Silahkan kalau lo pingin kehilangan anak lo!"

"Buka gak! Gue telfon polisi nih?!"

Yuki memiringkan bibirnya kekiri. Lantas berdecak. Sebal. Ibu hamil itu sungguh tak mau menyerah kalah.

Dengan hentakan kecil Yuki memaksa tubuhnya untuk bergerak. Perlahan layaknya seorang yang tak makan dua hari Yuki membuka pintu.

Baru saja pintu terbuka. Prilly sudah mendorong tubuh Yuki dan memberondongnya dengan berbagai macam pertanyaan. "Lo tu kenapa, sih?! Galau gara-gara laki?! Gue gak pernah lihat lo kayak gini sebelumnya. Eh... pernah. Itupun waktu lo patah hati gegara Marchel. Jangan bilang lo sekarang kayak gini juga gegara Marchel?! Iyah!" Prilly mendelik. Telunjuknya sudah teracung marah.

"Lo tu ya. Udah tahu hamil tua masih aja keluyuran. Gak kasihan sama si jabang bayi?" Yuki tak ada niat untuk menjawab semua pertanyaan Prilly. Wanita menyedihkan itu memilih untuk mengalihkannya.

"Jangan ngalihin pembicaraan, deh! Lo kenapa, sih?! Dari kemarin gue telponin, tapi lo sama sekali gak tanggepin. Lo kan sendiri yang bilang mau ke rumah. Gue tungguin lo gak muncul-muncul kan gue jadi khawatir. Bener banget berartikan kan feeling gue. Sekarang lo cerita sama gue. Ke-na-pa?! Lo kenapa?!"

Yuki menghela napas panjang. Sudut bibirnya sedikit tertekuk ke atas. Prilly--sahabatnya-- selalu memiliki feeling yang kuat. Mereka seakan memang ditakdirkan untuk menjadi seorang sahabat yang hatinya seperti anak kembar.

"Gue bingung mau mulai cerita dari mana." Yuki berjalan ke arah pantry berniat untuk membuatkan Prilly teh hangat.

"Pelan-pelan aja ceritanya. Gue selalu punya banyak waktu buat lo." Prilly mengekor di belakang Yuki dan menarik kursi di meja bar. Nada bicaranya sudah lebih tenang dari sebelumnya.

Yuki menghela napas lagi. Tangannya sibuk menata cangkir. Matanya menatap lurus pada dinding pantry yang entah kenapa justru menampilkan tatapan mata Algha. Merasa tak benar Yuki mengerjabkan mata.

Perempuanku (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang