18. flashback

4K 209 2
                                    

Bermula saat ayah mengajakku untuk pergi ke sebuah pesta perusahaan temannya, keluarga Yokoyama. Jika aku tidak salah ingat. Saat itu aku baru menginjak kelas dua SMP, masih sangat polos dan tentu aku tidak tahu apapun soal perusahaan.

"Anakmu sangat lucu sekali!" Puji nyonya Yokoyama.

"Terima kasih! Ku dengar anakmu ikut juga. Mana dia?" Tanya ibu sembari menepuk pundakku. Sang Nyonya tersenyum dan mulai menunjuk ke seorang gadis dengan rambut pendek seleher itu, "itu disana"

"hmm, ku dengar dia lulusan terbaik. Kau beruntung sekali punya anak sehebat Yui" sambung ibuku. Aku menghela nafas, aku tahu ia akan membanding-bandingkanku dengan anak nyonya Yokoyama.

"Tidak hebat juga. Dia selalu sibuk dengan urusannya sendiri, tapi aku sangat bersyukur dia mau belajar soal perusahaan," sambung nyonya Yokoyama, "tapi ku rasa ia tidak akan tertarik untuk melanjutkan perusahaan ayahnya..."

"Kenapa?" Ibuku mulai ingin tahu.

"Ku dengar suamiku akan memberikan sebagian asetnya ke adiknya, aku tidak tahu apa yang terjadi pada mereka berdua tapi ku rasa sesuatu telah terjadi," bisik sang Nyonya. "Dan Yuihan tahu itu,"

"Yuihan sudah dewasa dan pintar sepertimu, ia tidak mau mengambil resiko untuk masa depannya!" mereka tertawa. Lalu, gadis bernama Yui itu datang menghampiri sang ibu.

"Bu, ayah ingin memperkenalkan ibu pada komisaris Han. Sebaiknya ibu kesana," ucapnya pada sang ibu. Sang ibu hanya tersenyum dan pamit.

"Kau makin dewasa, Yui. terakhir aku bertemu kau, kau masih sangat muda dan pemalu...!" puji ibuku pada gadis berwajah datar tersebut.

"Bibi Shimazaki bisa saja, anda juga makin awet muda. Aku tidak menyangka bisa melihat anda masih tampak sejak terakhir kita bertemu..." balas Yui.

"Ya, ampun. Kita bertemu saat aku umur 30 sudah hampir 10 tahun berlalu. Kamu membuatku malu!"

Yui tersenyum lalu menatapku sekilas, "siapa ini?"

"Ah, ini anak bibi. Haruka namanya, dia dulu masih bayi dan kamu mungkin belum melihatnya..." ibu memperkenalkanku. Yui tersenyum.

"Dia cantik seperti ibunya," pujinya tanpa melepas pandangannya padaku. Aku membuang wajah, menyebalkan sekali orang itu, manis di mulut. Apa semua pewaris perusahaan harus memiliki talenta bermulut manis?

"Dan, dia pemalu juga.."

"Dia tidak suka keramaian, entah darimana asal sifatnya itu..." sambung ibu.

"Hehehe, mungkin karena sedari kecil ia jarang keluar rumah, di rumah selalu sepi" sambungnya lagi.

--

"ayah, ada apa?" Tanya ibuku begitu ayah mendesah lesu sesampai dirumah.

"Perusahaan Yokoyama mengalami kebangkrutan, sebagian aset yang mereka jualkan ke kita harus di tarik," curhat ayah. "Dengan begini, kita kehilangan sekitar 20% total penjualan asetnya selama ini"

"Lalu, bagaimana dengan keluarga Yokoyama?"

"Entahlah, yang pasti, aku memberikan 0,3% saham untuk membantunya." Dia melonggarkan dasinya. "Kasihan sekali Yuihan, diusianya yang masih begitu muda dia harus mengalami hal seperti ini.."

--

pemakaman adalah tempat yang paling mengerikan dan tempat yang selalu aku hindari begitu ayah atau ibu mengajakku, namun tidak untuk kali ini.

paman Yokoyama, ditemukan tewas bunuh diri dengan melompat dari rumahnya dari lantai 4. Menurut pengakuan isterinya, ia bunuh diri karena perusahaan mengalami kerugian yang amat besar mencapai 1,6 miliar yen dan semua aset yang ia jualkan harus di tarik, membuat hutang menumpuk sana-sini.

Dan Yuihan, anak dari perusahaan secara tidak langsung harus mengambil resiko yang di tinggalkan ayahnya.

"Yui, kami sekeluarga turut berduka cita dengan kepergian ayahmu," ayah memegang pundak Yui.

"terima kasih atas perhatiannya, paman. Saya sangat bersyukur anda masih mau menyumbangkan saham anda kepada perusahaan kami, itu membantu untuk membayarkan hutang yang beliau ciptakan" kata Yui sembari tersenyum lirih. kejadian ini terjadi dan ia masih berusaha tersenyum walaupun sangat lirih dan pilu.

"Yui," panggil ibunya dari samping makan sang ayah. Ibunya terlihat lebih tertekan dan lebih bersedih dibanding ibunya.

"Saya permisi,"

Aku menatap kejadian itu dengan pilu, sesekali melihat ke ayah dan ibu yang juga turut merasakan kesedihan mereka. Bagaimana kalau ini terjadi padaku? Apa aku sanggup menjadi seperti Yui?

Dua tahun kemudian, ibu Yui meninggal karena penyakit lemah jantung yang di deritanya. Sejak saat itu, Yui hidup sendirian di Tokyo dan bekerja di perusahaan besar.

Sedangkan aku,

"Kami akan pergi ke luar negeri untuk beberapa tahun kedepan. Kami janji tiap akhir tahun akan pulang, jika sempat.." bisik ibu sembari memelukku.

"Jaga dirimu baik-baik, Haru." Sambung ayah lalu menatap bibi, "kak, jaga dia."

"tentu."

--

"Apa?!" Bibi berteriak histeris di telpon. Saat itu pukul 4 malam, ia menangis di lantai,

"Ibu, ibu. Ada apa?" Tanya Rena pada bibi, ia terlihat begitu panik melihat ibunya menangis seperti itu.

"P-pesawat ayah Haruka... h-hilang..."

"Apa...?"

"Itu.. mustahil."

--
My Private Class: 18
End

My Private ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang