9.Past Terror

866 49 1
                                    

''Hei tuan, ini sudah pukul tujuh malam. Apakah kau masih bertahan disini?''

''Yah ? Aku?''tanyaku menoleh pada suara yang mengagetkanku.

Ternyata suara itu berasal dari seorang gadis berperawakan tinggi. Nampaknya ia berumur 25 tahunan.
Dia menggunakan high heels yang tingginya kurang lebih 12 cm, dengan rok mini sebatas lutut, namun tetap seimbang saat berjalan.

Aku sedang berada di Perpustakaan Kampus. Entah sudah berapa jam yang aku lewatkan untuk mengerjakan laporan-laporan ini. Karena aku harus menyerahkannya pada Prof.Smith.

Aku terus berkutat dengan laptop dan buku-buku tebal yang masih menumpuk di meja kayu ini, tanpa menghiraukan gadis itu.

''Aku akan segera menutup perpustakaan ini tuan.''kata gadis itu lagi.

''Uhhh.... baiklah.''kataku kemudian.

Aku beranjak hendak membereskan buku-buku yangku ambil sedari tadi, namun seketika tubuhku sakit. Sepertinya tulang pinggangku nyaris bergeser dari tempatnya.

''Aaarrggghh, ada apa dengan pinggangku?'' pekikku.

''Biarkan aku membantumu untuk membereskannya Tuan.''kata gadis itu lagi.

Ah, itu melukai harga diriku. Berlaku lemah dihadapan wanita ? ini bukan gayaku.
Ini semua karena Profesor Smith. Kalau saja ia tidak menekanku dengan laporan-laporan konyol ini, mungkin aku tidak akan duduk seharian di perpustakaan ini.

''Ah, terimakasih......... Ms. Sofia.''lanjutku kemudian, setelah membaca nama pada tanda pengenal Sofia. Lebih tepatnya Ms.Sofia Thompson.

''Itu adalah tugasku tuan. Panggil saja aku Sofia.''sambung Sofia seraya merapikan buku dan meletakannya pada rak buku.

''Hei, sepertinya usiamu sedikit lebih tua daripada aku, jadi panggil saja aku Justin.''kataku sedikit keras agar Sofia yang berjarak 200 meter dariku mendengarnya.

Sofia berbalik dan tersenyum hangat kearahku. Aku hanya membalas tatapannya, tidak senyumannya dan kemudian pergi.

Aku keluar dari tempat itu seraya merentangkan tanganku kesegala arah yang kuinginkan. Meregangkan otot-otot tubuhku yang kaku. Tubuhku benar-benar lelah.

Tiba-tiba handphoneku berdering nyaring, meraung untuk diangkat, kuangkat telpon itu dengan segera.

Mrs. Kendal.

Aku segera berlari dengan cepat setelah menerima telpon itu. Aku harus segera sampai di rumah, meskipun harus menabrak orang yang berlalu lalang dihadapanku.

''Justin, pulanglah. Ibumu mencoba untuk bunuh diri lagi.''kata Mrs.Kendal tetangga rumahku yang sudah kuanggap sebagai bibiku.

Sejak Ibu tahu akan kematian ayahku, ibuku selalu mencoba untuk bunuh diri.
Dulu aku masih sangat kecil untuk mengerti semua itu. Saat semua orang mencoba untuk menenangkan Ibuku, aku hanya dapat memeluk ibuku dan menyanyikannya lagu ''Twinkle-twinkle little star''.

Anehnya, ibu selalu tenang dipelukanku.
Sejak saat itu aku sadar, bahwa ibu sangat membutuhkanku lebih dari oranglain.

Dokter berkata bahwa Ibuku mengalami gangguan psikologi yang tidak biasa, namun untungnya hal ini hanya terjadi dalam waktu-waktu tertentu.

Namun, jika Ibuku tidak dapat menyeimbangkan kesadarannya dengan titik tekanan yang dialaminya, akibatnya akan sangat fatal.
Ibuku bisa mengalami gangguan psikologis yang sangat parah, begitu kata dokter. Aku sudah membawa Ibuku untuk melakukan hipnoterapi, tapi itu tidak berhasil.

Mungkinkah luka yang ibu rasakan saat kehilangan Ayah itu sangat dalam?
Jika ia, bagilah itu sedikit untukku. Agar aku bisa menangis bersamamu karena merindukannya.

Aku berlari masuk kedalam rumah dan mendapati Ibuku dilantai tiga. Disana sudah ada Mrs. Kendal dan suaminya Mr. Jhonas. Nampaknya kedua lansia itu kewalahan menanganinya sehingga mereka mengikatnya seperti itu. Ia terus berteriak mendapati kedua tangan dan kakinya diikat dengan gulungan kain.
Hatiku sangat hancur melihat Ibuku seperti itu. Aku terus membatu di depan pintu.

''Justin, Ibumu mencoba melompat dari jendela. Untungnya, suamiku melihatnya saat ia sedang mengganti bohlam disudut rumah.''jelas Mrs.Kendal panik.

Kacamatanya nampak tak beraturan di wajah keriputnya. Keadaannya sudah dapat menjawab bagaimana usaha mereka menangani Ibuku.

''Terimakasih Mrs.Kendal dan Mr.Jhonas.''ucapku seraya mendekati mereka.

''Justin...tolong aku. Aku harus segera menyusul ayahmu.''tangis ibuku histeris seraya menendang-nendang kakinya.
Ia tertawa dan menangis tidak karuan.

''Ayo, cepat nyanyikan lagu itu untuk Ibumu.''lanjut Mr.Jhonas.

''Baiklah, aku akan segera mengurusnya. Pulanglah dan beristirahatlah.''kataku seraya mendekati Ibu yang terus berteriak histeris.

Setelah mereka keluar, aku memeluk erat ibuku. Mendekapnya dalam kedua lenganku yang telah duluan melemas. Kuusap wajahnya dan merapikan rambutnya yang berantakan.
Wajah cantiknya nampak sangat kacau.
Ah, mataku memanas. Bahkan kini tanganku tak mampu untuk menghapus air mata yang sebentar lagi ingin bebas.

''NELSON HORAN.....!!!!!!!''teriak Ibuku histeris.

Ia selalu mengucapkan nama itu. Siapa dia ? Entahlah, aku tidak mengerti. Ibu mengucapkannya dengan tatapan yang sangat tajam. Aku takut ibuku menjadi semakin depresi, oleh karena itu aku segera melepaskan ikatannya dan merangkulnya sekejap.

''Twinkle-twinkle little star, how i wonder what's you are.. up above the world so high........''aku melantunkan lagu itu seraya memeluk ibuku yang terus memberontak.
Namun perlahan ia mulai tenang dan menangis sedih. Ia memelukku dan menumpahkan kesedihannya. Tangisannya seperti biola yang melantunkan elegi sendu. Aku ingin melantunkan lagu ini tanpa air mata lagi, sama seperti ketika aku berumur 8 tahun. Namun, mataku tidak mendengarkanku.

Tidak ada tangisan lagi, hanya sesenggukan yang terdengar disana. Nyaris tak terdengar--seperti bisikan. Sepertinya ibu sudah tertidur. Aku mengeratkan pelukanku, dan mengelus rambut hitamnya.

''Do you know Mom? everytime you're being like this, My heart feels hurt.'' Desahku menghapus air mata.

Aku tidak bisa menahannya. Mungkin seperti inilah rasanya kehilangan Ayah. Maafkan aku yang tidak bisa merasakan sepenuhnya bersamamu.

Malam itu, ibu tidur pulas dipelukanku. Bintang malam menjadi saksi bisu, penderitaan Ibu malam ini. Menjadi saksi terbukanya luka lama yang masih berdarah.
Seberapa kuatnya pun sebuah batu untuk menahan beban, suatu saat nanti batu itu akan rapuh dimakan waktu-seperti itulah ibu.

Aku menggendong Ibuku dan tiba-tiba selembar foto tua terjatuh dari pangkuannya. Aku mengambilnya dengan hati-hati agar ibu tidak terjatuh.
Ini foto Ayah dan Ibu. Wajar saja jika Ibu menjadi depresi saat melihatnya.
Kenangan itu adalah kelemahan ibuku. Apakah aku harus membuat ibu untuk melupakan ayah? Seakan Ayah tidak pernah menjadi bagian hidupnya? Aku akan melakukannya jika aku bisa. Mungkin aku terdengar seperti anak yang durhaka, tapi jika kalian yang berada diposisiku apa yang akan kalian lakukan ?
Aku menggendong Ibu ke kamarnya. Dapat kupastikan bahwa kamarnya sangat berantakan. Dan ternyata memang benar.

Setelah meletakannya ditempat tidur dengan hati-hati, aku segera membereskan seluruh ruangan itu dengan sabar. Pil-pil penenang miliknya masih tersegel dengan baik. Ia tidak akan meminumnya jika aku tidak memaksakannya. Karena kesibukanku yang begitu padat, aku melupakan ibuku. Ini semua salahku.
Kuambil foto usang tadi dari saku jacketku. Foto itu sudah hancur teremas.
Aku merindukan senyuman itu.
Aku merindukan kalian.

Ayah, ibu.

Kubaringkan tubuhku disampingnya. Aku memeluknya dan terlelap malam itu, meskipun pelupuk mataku belum mengering.

Mengapa aku sangat akrab dengan rasa kehilangan ?

Ugly Duckling ( COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang