8:20 Niall Horan

716 118 21
                                    

Manhattan, New York, United States
11 September 2001
08:20 AM

**

Hidup sendiri itu tak pernah seenak yang dibayangkan. Dulu ia kira jika ia hidup sendirian itu berarti ia bebas bak seekor burung yang dilepas dari sangkarnya. Ia memang bebas namun sendirian. Tiap hari ia harus melakukan kegiatan yang jarang dilakukannya selama tinggal di rumah ibunya; memasak, membeli keperluannya sendiri, membersihkan rumah.

Itulah kenyataan yang dihadapi Niall Horan seminggu pasca ditinggal ibunya di New York, lingkungan yang baru baginya. Karena ia dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi ia terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya dulu, Virginia, dan meninggalkan keluarga dan kerabatnya. Kepindahannya ini memberikan keuntungan baginya. Bekerja di kantor pusat yang tepatnya di gedung utara World Trade Center tak seberat saat ia di Virginia. Kantornya pun juga tak keberatan untuk menyediakan sebuah apartement yang benar-benar dekat dengan kantornya.

Memasukkan sesendok oatmeal ke mulutnya, Niall mengganti saluran televisi ke saluran berita. Suasanya senyap membantu suara itu terdengar ke seluruh ruangan, hanya sesekali dentingan sendoknya menginterupsi pembacaan berita. Niall menelaah tiap kata yang terdengar. Si Pembaca Berita memberikan pembaruan terbaru mengenai sebuah pesawat tujuan Boston yang dibajak. Niall meringis membayangkan dirinya berada di dalam pesawat itu. Dengan cepat ia mematikan televisi sebelum imajinasinya bertambah liar.

"Dunia ini makin gila," gumamnya sembari menaruh mangkuk makan ke tempat cuci piring. Dengan gerakan cepat ia meraih tas kerjanya dan melesat keluar dari apartement.

Hanya membutuhkan waktu kurang dari sepuluh menit baginya untuk sampai di pelataran gedung kembar itu. Sebuah air mancur berkilau di tengah pelataran. Matahari bersinar memberikan bayangan hitam gedung-gedung di permukaan semen. Orang-orang berpakaian rapih dan memasuki kedua gedung tersebut. Suara klakson mobil sesekali terdengar. Pagi yabg cukup baik untuk permulaan hari.

Lobby gedung utara saat itu sedang ramai. Kursi yang disediakan sudah penuh terduduki. Kerumunan orang sudah berdiri di depan lift. Niall menyelip di antara dua orang yang berbincang menghalangi jalannya. Kedua lelaki bersetelan jas mahal itu menatap sinis punggung Niall.

Niall ikut berdiri di antara lima orang yang menunggu lift. Tak lama setelah pintu lift terbuka, Niall masuk dan menekan tombol berangka 83. Dari lima orang tadi hanya tersisa dua yang menanti lift untuk terus naik ke atas. Bunyi bel kecil menandakan Niall sudah sampai, ia beranjak keluar dan masuk ke dalam kantornya. Beberapa orang menyapanya dengan ramah namun ia hanya bisa tersenyum kecil sebagai tanggapan karena ia bukanlah pengingat yang baik.

Pengecualian untuk satu wanita yang selalu terngiang di otaknya semenjak pertemuan pertama mereka; Sarah William. Hanya Sarah pula yang menarik perhatiannya. Niall rasa ia berbeda. Dengan tubuh semapai, rambut cokelat selembut sutera, mata cokelat yang terlihat selalu berkilau tiap saat, dan senyuman manis, selalu membuat Niall mendambakannya.

Pertemuan pertama mereka ketika Niall disuruh menemui atasannya untuk pertama kali. Di sanalah Sarah juga berada saat itu, duduk tegak di seberang kursi atasannya, bersikeras untuk menaikkan gajinya. Perut Niall bergejolak begitu hebat saat itu hanya dengan mendengar suara Sarah.

"Pagi, Sarah!" sapa Niall pada Sarah yang kini rambutnya tersanggul kecil. Wanita, yang tadinya tengah sibuk dengan layar komputernya, mendongak dan memperlihatkan deretan giginya yang rapih.

"Pagi, Niall. Bagaimana malam ke-empat belasmu di New York? Masih mimpi buruk?" tanya Sarah setengah meledek.

Niall mendudukkan dirinya di bilik yang berseberangan dengan Sarah. Bukannya kesal karena diledek, ia malah tersenyum lebar. "Tidak, aku mimpi indah malam ini."

Sarah memasang wajah terkejutnya. "Oh, benarkah? Kalau boleh tahu mimpi apa?"

Seringaian jahil muncul di wajah Niall. "Mimpi menikahi seorang gadis bernama Sarah William dan memiliki keluarga kecil dengannya."

Sarah terkekeh pelan dan menggelengkan kepalanya tak percaya. "Aku punya kekasih, Niall. Kalau kau tak ingin kena tinju darinya sebaiknya kau berharap tak ada yang mendengar perbincangan kita."

Sayang, bayangannya tak seindah kenyataannya. Sarah sudah memiliki kekasih. Niall tahu itu. Beberapa kali ia memergokinya tengah berbincang mesra dengan seorang lelaki bertubuh tegap dan berkulit kecokelatan di kafetaria lantai dasar.

Sampai saat ini Niall masih sakit hati sebetulnya namun untuk hari ini ia singkirkan rasa sakit hatinya dan memilih untuk mengagumi wajah Sarah yang tengah bekerja.

September Eleven | 1d ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang