13.15 Niall Horan

290 64 1
                                    

Manhattan, New York, United States
11 September 2001
13.15  AM

**

Dibalik kelopak mata yang tertutup, pupil mata itu bergerak dengan liar. Menandakan kehidupan yang masih ada dalam tubuh pria yang wajahnya masih tertutupi abu. Akhirnya setelah sekian lama, kedua kelopak mata itu terbuka, mempersilahkan bias sinar matahari menelusup masuk lewat pupil birunya.

Terima kasih, Tuhan. Terima kasih sudah memberikanku kesempatan.

Dia mencoba meneliti sekitarannya dengan pandangan kabur. Dia mendesah pelan saat menghela napas, dadanya masih sedikit terasa sakit. Setidaknya organ pernapasannya sudah bisa mempersilahkan oksigen dari masker masuk ke dalam tubuhnya.

Tiba-tiba ia teringat saat-saat sebelum ia tak sadarkan diri.

Orang-orang memekik panik. Suara gemuruh tepat di atas kepalanya. Tanah yang dipijakinya bergetar hebat. Perlahan suara pekikan tertimbun oleh bahan bangunan dari gedung WTC.

Tubuh Niall bergetar hebat begitu mengingatnya. Dalam posisi tertidurnya dia bergerak panik. Ketakutan masih merajalela dalam dirinya.

Sebuah tangan menggenggam tangan Niall, perlahan menghentikan pergerakannya.

"Hey, tenanglah," bisik seseorang di sebelahnya.

Napas Niall kembali beraturan. Dia menoleh kepada si pemilik tangan. Seorang wanita bersurai hitam pendek tersenyum samar. Rambut serta jas biru tuanya masih terselimuti oleh abu. Di pelipisnya tampak darah yang mengering.

"Kau sudah bisa bernapas dengan baik?" tanya wanita itu dengan lembut.

Niall mengangguk. Dia berusaha mengeluarkan suara namun masker oksigen menyulitkannya. Dia mencoba melepaskan masker tersebut. Tangannya kembali tertahan oleh wanita tadi. Melihat Niall kesusahan lantas dia langsung membantu Niall melepaskan masker oksigen.

"Apa semuanya sudah berakhir?" tanya Niall lirih.

"Sedang tahap evakuasi," wanita itu merogoh sesuatu dari kantong jasnya. Sebuah cincin perak dengan pertama kecil di atasnya tampak di telapak tangan wanita itu. "Kurasa ini milikmu."

Sesaat Niall termangu memandangi cincin itu. Ia merasa sesak. Setitik air mata jatuh di pipinya.

"Aku harus menyelamatkan dia," lirih Niall, menggenggam erat cincin itu. Teringat akan janjinya untuk menyelamatkan Sarah. Dia bangkit, mencoba menghiraukan kepalanya yang berdenyut.

Wanita di sampingnya lantas langsung menahan bahunya agar tak bergerak. "Apa yang ingin kau lakukan?"

"Aku harus menyelamatkannya," kata Niall. "Aku sudah berjanji."

Mata wanita itu bergerak ke tangan Niall yang terkepal sempurna. "Tak ada lagi yang bisa diselamatkan."

"Apa maksudmu?"

"Mulai saat ini tak ada lagi gedung indah kebanggaan Manhattan."

September Eleven | 1d ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang