Manhattan, New York, United States
11 September 2001
09.20 AM**
Sebatang besi berkelontang saat Niall berhasil menjatuhkannya dari atap. Suhu ruangan makin panas. Suara angin terdengar riuh masuk ke dalam kantor lewat kaca yang pecah. Atap ruangan pun mulai runtuh karena tak kuat menahan beban di atasnya atau karena api yang berkoar di beberapa titik kantornya.
Niall mengusap peluh yang membanjiri keningnya. Lengan sakunya ia tarik hingga siku. Ia meraih besi itu. "Minggir," ucapnya pada Kian, atasannya yang bersedia membantu, yang mencoba membuka pintu lift dengan tangan kosong.
Besi tersebut Niall selipkan di sisa ruang pintu lift, dengan sekuat tenaga ia mendorongnya. Pintu lift terbuka sedikit, memperlihatkan Sarah yang menenangkan dirinya sendiri.
"Bantu aku!" seru Niall pada Kian yang hanya memandangi sekitaran dengan panik. Kian mengangguk cepat dan ikut mendorong. Cara itu berhasil! Pintu lift terbuka lebih lebar seukuran lengan. "Sedikit lagi!"
Tapi keberhasilan itu tak memotivasi Kian untuk melanjutkan pertolongannya. Suara gerumuh terdengar keras disusul dengan goncangan. Sarah memekik panik dari dalam lift yang merosot. Liftnya turun setengah meter. Awalnya tangan Sarah masih dapat menggapai wajah Niall, kini atap lift setara dengan betis Niall. Tangan Sarah mencoba menggapai-gapai dari dalam sana.
Sarah menjerit histeris, memohon-mohon kepada Tuhan untuk keselamatannya, dan menangis histeris.
Niall berjongkok dan menggenggam tangan Sarah begitu erat. "Bertahanlah!"
Wajah Kian memucat. Kakinya yang gemetar melangkah mundur.
"JANGAN BERANI-BERANINYA!" bentak Niall yang menyaksikan gelagat aneh Kian. Kian menggeleng cepat dan lantas berlari menuju pintu darurat. "HEI! DASAR BAJINGAN!"
"Apakah dia pergi?" tanya Sarah disela tangisnya. Tangan Sarah bergetar makin hebat. Niall menggenggamnya dengan erat. "Oh Tuhan, aku akan mati... Aku akan mati..."
"Berhenti mengatakannya!" seru Niall. Diam-diam ia menahan tangis yang dipendamnya. Dia ingin Sarah bisa keluar bersamanya dengan selamat. "Sarah, kau adalah wanita tertangguh yang pernah kukenal. Jadi kumohon, bertahanlah. Kita akan selamat. Aku yakin itu."
Mereka berdua terdiam, isakkan tangis Sarah mulai mereda perlahan dan juga tangannya tidak gemetar hebat. "t-tidak ada lagi harapan, Niall. Aku tidak-- aku tidak ingin menjadi beban."
Alis Niall berkerut. Tidak mengerti apa yang diucapkan Sarah. Mata biru lautnya memandangi Sarah di dalam lift yang tersenyum tipis.
"Selamatkan dirimu."
Niall menggeleng pelan. Merasakan dadanya mulai sesak. "Tidak. Aku akan tetap di sini. Aku akan mengeluarkanmu."
"Selamatkan dirimu. Aku mohon padamu," ujar Sarah, menggenggam erat tangan Niall.
"Tapi-"
Sarah melepaskan genggamannya. Dia memasukkan kembali tangannya. Tangan Sarah kembali terlihat dari sela-sela pintu dengan cincin berlian di telapaknya. "Berikan pada Richard. Katakan padanya aku mencintainya."
"Tidak, aku tidak akan melakukannya."
"Aku bilang berikan!" Sarah membentak dengan nada yang tinggi.
"Sarah..."
"Dasar Bodoh! Aku bilang selamatkan dirimu dan berikan ini pada Rich!"
Ragu-ragu Niall mengambil cincin tersebut. "Aku akan segera kembali dengan bantuan. Aku berjanji."
KAMU SEDANG MEMBACA
September Eleven | 1d ✔️
FanfictionLima kisah berbeda tentang cinta dan kehilangan dalam tragedi Sebelas September. [On Editing] Copyright © 2016 by Kryptonitexx