White Planes, New York, United States
11 September 2001
08.00 AM**
"Dad bangun!"
Seruan itu kembali terdengar untuk yang kesekian kalinya. Kasur yang ditidurinya berguncang dikala bocah berumur lima tahun meloncat-loncat di atasnya. Harry mencoba mengabaikan gangguan itu dan melanjutkan tidurnya.
"Ayo, bangun!"
Kali ini bocah itu berteriak lebih nyaring dan loncatannya makin heboh.
"Mile, awas jatuh," ucap Harry dengan suara yang parau dan kedua mata yang masih terpejam.
Bocah itu, Mile, menghentikan loncatannya dan menghempaskan tubuhnya di sisi Harry. Napasnya tak tersenggal setalh meloncat selama tiga menit, "Mom menyuruhku membangunkanmu, Dad. Dia bilang makanan spesialmu sudah jadi. Dan aku tidak bisa memakannya sebelum aku berhasil membangunkanmu."
Harry memutar tubuhnya ke arah Mile dan membawa bocah itu kedalam dekapannya. Ia menenggelamkan wajahnya ke rambut keriting milik Mile. Bau apel sangat tercium pada rambut Mile. Harry teringat betapa tergila-gilanya Mile akan sampo dengan gambar buaya di kemasannya itu.
"Memangnya apa yang Mom masak?"
"Pancake!" seru Mile semangat. Anaknya juga sangat tergila-gila dengan pancake. Setiap hari dia bisa menghabiskan dua sampai tiga porsi pancake. Ia pun juga mengklaim jika semua anggota keluarganya menyukai makanan berbahan dasar terigu itu. Baik Harry maupun istrinya sebetulnya sudah mulai muak mengkonsumsi pancake. Namun, itu tak setara dengan kebahagiaan anak mereka.
"Pasti lezat sekali," Harry membuka kedua matanya dan menatap wajah Mile di bawah bias cahaya matahari. Mata hijau bocah itu terpaku pada jemarinya sendiri yang tengah dia mainkan. Harry tak bisa menyangkal jika Mile adalah jeplakannya.
"Ayo, cepat bangun, Dad!" erang Mile kesal, menangkup wajah ayahnya dengan kedua tangannya. Harry tersenyum sembari mendengus pelan. Diciumnya puncak kepala Mile untuk beberapa saat.
"Ini Dad sudah bangun," Harry pun bangkit dari kasurnya. Ia terkekeh melihat Mile yang berseru gembira dan segera meledat menuju ruang makan di mana ibu dan adiknya berada.
.
"Pagi, Sayang," sapa Harry sambil mengecup singkat pipi istrinya, Emilia Styles. Emilia mengalihkan wajahnya dari piring dan memerhatikan Harry yang tengah mengambil sesuatu dari lemari pendingin.
"Harry, kau terlihat berbeda hari ini," ucap Emilia saat sadar dengan wajah Harry yang sedikit pucat. Rumah tangga mereka sudah terjalin selama tujuh tahun. Emilia sudah tahu betul wajah Harry.
"Apa aku terlihat lebih tampan?" gurau Harry sambil membenarkan tataan rambutnya dan memperlihatkan seringaian mautnya. Setelah itu dia menuangkan segelas jus jeruk ke dalam gelasnya.
Emilia menggeleng dan terkekeh pelan. Ia melanjutkan menyuapi bubur ke mulut Allison, anak bungsu mereka, "Percaya diri sekali."
"Percaya diri sekali," Allison mengulang ucapan ibunya dengan nada semangat dan hal itu mengundang tawa kedua orang tuanya. Rambut cokelat lurusnya bergoyang karena ia ikut tertawa tanpa mengerti alsannya.
Berbeda dengan Mile, Allison lebih mirip ibunya. Harry hanya bisa mewariskan hidung lancipnya saja. Allison memiliki mata cokelat dan surai yang senada dengan warna matanya, sama seperti Emilia.
"Dad lihat gambarku!" Allison mengangkat kertas dengan gambar yang dibuatnya.
Allison memang sangat suka menggambar. Ia menggambar apapun yang menurutnya patut diabadikan. Seperti piknik musim panas lalu hingga kunjungan mereka ke rumah neneknya.
Harry meraih kertas itu. Ia tersenyum melihat wujud dirinya sebagai stick man dengan rambut cokelat keriting dan baju hijau terang. Di bawahnya ada tulisan Allison yang tak rapih. Di gambar itu Harry terlihat pergi keluar dari rumah. Jauh di belakang gambar Harry ada rumah dengan seorang wanita dan dua orang bocah (yang Harry yakini itu keluarga mereka) melambaikan tangan ke arah Harry.
"Itu ceritanya Dad mau pergi kerja."
"Ini bagus sekali, Allison," Harry mencondongkan tubuhnya, mengecup pipi tembam milik Allison. "Dad akan menempelnya di meja kerja. Keberatan jika Dad membawanya?"
Mata Allison berbinar mendengar permintaan ayahnya, "Tidak, aku bisa membuatnya lagi."
Badan Harry sedikit dicondongkan ke Allison. Membalik telapak tangannya, ia menempelkan punggung tangannya ke kening Allison, memeriksa temperatur dan membandingkannya dengan suhu semalam. "Masih hangat. Apa dia sudah minum obatnya?"
"Nanti habis makan," jawab Emilia singkat sambil mengaduk bubur. "Harry, hari ini Mile ada pertandingan sepakbola, kau ingat?"
Harry meneguk jusnya dan mengalihkan pandangannya pada Mile yang duduk manis di atas sofa sambil menonton kartun kesukaannya, "Pukul berapa?"
"Dua belas. Bisakah kau datang? Minta izinlah pada bosmu, aku rasa ia akan mengizinkan, secara dulu ia memperbolehkanmu menonton drama Mile."
"Aku akan mencobanya, Sayang." Lesung pipi Harry terlihat jelas ketika ia tersenyum. Harry melirik ke arah jam tangannya dan meringis pelan. Mereka sudah telat lima menit dari keberangkatan rutinnya. "Mile, apa kau sudah selesai sarapan? Kita harus berangkat."
Mile bangkit dari sofanya dan menaruh piring bekas makannya ke tempat cucian piring. Setelah itu ia memeluk Emilia dari arah kanan. Ia mendongak menatap Emilia dengan mata yang menyiratkan permohonan. "Mom dan Dad akan datangkan?"
"Iya, kita akan datang, Jagoan." Emilia mengusap rambut Mile dan melirik kepada Harry.
"Aku pergi dulu, Em," ucap Harry, mengecup bibir Emilia setelah Mile melepaskan pelukannya.
"Aku sudah berjanji dengannya. Usahakan datang," bisik Emilia di telinga Harry. Emilia tahu Harry pasti akan datang. Rasa sayang Harry kepada anak-anaknya melebihi apapun di dunia ini. Sesibuk apapun Harry, ia pasti akan menyisipkan waktu diantara jadwal padatnya untuk kedua anaknya.
"Siap, Emilia," lagi Harry mengecup bibir Emilia, kali ini lebih lama, "Aku akan menyusul nanti."
.
A/N
Emilia Styles
KAMU SEDANG MEMBACA
September Eleven | 1d ✔️
FanfictionLima kisah berbeda tentang cinta dan kehilangan dalam tragedi Sebelas September. [On Editing] Copyright © 2016 by Kryptonitexx