University of Maine, Maine, United States
11 September 2001
08:25 AM**
"Konyol sekali. Kurangi menonton film action, Lou! Mana mungkin itu terjadi."
Abby menggigit bibir bagian bawahnya. Seperti kaset rusak, suara itu terus berulang di kepalanya tanpa henti. Ia ingin menarik kata-kata yang diucapkan di saat-saat terakhir pertemuannya dengan Louis. Ia menyesal malah menggodanya bukannya membujuknya untuk tetap tinggal.
Dieratkan jaket milik Louis. Aroma lelaki itu memberinya sedikit ketenangan dan kekuatan. Berkali-kali ia mengusir kemungkinan terburuk mengenai keadaan Louis dari kepalanya. Namun kemungkinan itu selalu kembali. Memperburuk segalanya.
Abby masih di sana. Duduk melamun memandangi televisi, berharap jika seluruh penumpang baik-baik saja, terutama Louis. Matanya memerah karena terlalu banya menangis. Mungkin jika Louis melihatnya sekarang ia akan mentertawainya dan mengejeknya cengeng. Dan ia akan mencubit pipi Louis.
Oh Tuhan, ia ingin Louis ada di sisinya sekarang.
Tatapannya kosong memandangi permukaan teh yang masih mengepul. Seorang mahasiswa yang tak dikenalnya tadi membawakan dan menyatakan kesedihannya.
Kini kantin tak seramai sebelumnya. Mereka kembali memulai aktifitas seperti biasanya, tak begitu menganggap penting berita menggemparkan itu. Hanya tersisa Abby dan beberapa orang lain yang masih duduk termangu memandang kosong televisi.
"Mrs.Tina mencarimu." Karlie mendudukkan dirinya disamping Abby yang tak merespon sedikitpun. Janggal rasanya melihat Abby yang kini begitu terpuruk. Abby bukanlah seorang gadis yang memperlihatkan kesedihan yang tengah melandanya. Senyumnya betah bertengger di bibir tipisnya. Mirip dengan Louis. Dan kini melihat Abby terus menangis juga ikut membuat hati Karlie tersayat.
Abby mengeratkan cengkraman di cangkirnya, menunduk memandangi sedikit bagian siluetnya di permukaan teh. "Aku tak peduli."
"Tapi-"
"AKU BILANG AKU TAK PEDULI!"
Mata cokelatnya yang berair menatap langsung pada Karlie yang terlonjak. Sengatan kesedihan kembali dirasakan Karlie. Ia tahu ia salah mengatakan hal itu, namun sebetulnya ia mencoba agar Abby sedikit melupakan hal ini.
Abby kembali menunduk dalam-dalam. Ia ingin meledakkan kepalanya saat ini juga. Ketenangan yang diidamkannya tak dapat ia rasakan hingga sekarang. Tiap detik di sudut otaknya selalu muncul bergabai kemungkinan, mulai dari yang masuk akal sampai tidak sama sekali.
Louis, Louis, dan Louis.
Nama itu terus berputar di kepalanya tanpa henti. Senyum lebar lelaki itu bagai terpatri di memorinya. Persetan dengan kelasnya. Persetan dengan nilainya. Semua itu tak sebanding dengan kabar Louis yang belum terdengar juga.
Ponsel pink miliknya ia genggam begitu erat. Kakinya naik turun dengan cepat, cemas. Untuk entah yang ke berapa kalinya ia melirik ke arah ponsel, berharap Louis mengabarinya dan berkata ia sudah sampai di rumah orang tuanya dengan selamat. Berharap ia dapat mendengarkan suara Louis yang santai menyambutnya.
"Hey, Abby Manja. Ada apa?"
Dulu ia bisa mendengarnya kapanpun yang ia mau. Namun untuk saat ini rasanya hal sederhana itu adalah harapan tergilanya. Louis jahat. Ya dia sangat jahat meninggalkan Abby dalam ketakutan yang tak berujung.
Titik air mata kembali berjatuhan membasahi pipinya. Rasa khawatir itu menghimpit dadanya tanpa henti. Rangkulan hangat diberikan Karlie. Gadis bersurai cokelat itu membawa Abby ke dalam dekapannya. Sontak Abby langsung menangis sesenggukkan, ia membutuhkan tempat untuk mencurahkan ketakutannya ini.
"Bagaimana jika dia terluka di atas sana, Karlie?" tanya Abby di antara tangisnya.
Karlie mengusap punggung Abby dengan lembut, "dia baik-baik saja. Aku yakin itu."
Abby membenamkan wajahnya di pundak Karlie, "aku takut."
Detik itu juga keajaiban seakan benar-benar terjadi. Ponsel digenggamnnya bergetar menandakan panggilan masuk. Buru-buru Abby melepaskan pelukannya dan menatap ponselnya. Seluruh organ tubuhnya bagai berheti bekerja. Nama yang tertera di ponselnya membuat nafasnya tercekat, tak mampu berucap. Darah bagai mengalir begitu deras dalam tubuhnya.
Ia terperangah sesaat, menatap Karlie yang kebingungan. Satu kata berhasil meluncur dari bibirnya dan hal itu membuat Karlie ikut terperangah tak percaya.
"Louis," bisiknya pelan. Napas Abby mulai tak stabil. Ia meyakinkan dirinya jika itu benar-benar Louis. "Karlie, ini Louis!"
Seruan itu sontak membuat orang-orang di sekitarnya menoleh. Perasaan bahagia dan ketakutan bercampur menjadi satu. Karlie benar. Dia baik-baik saja!
Abby langsung mengangkat panggilan itu. "Lou," panggilnya pelan.
Sesaat hening di seberang sana. Abby menanti dalam keheningan yang mencekam, sama halnya dengan orang-orang di sekitarnya. Tak lama kemudian terdengar napas seseorang, "hei, Abby."
Ada rasa hangat yang tiba-tiba masuk ke dalam aliran darahnya hanya mendengar suara lelaki itu. Masih terdengar begitu ceria dan santai seperti biasanya. Membuat Abby berpikir jika berita yang didengarnya hanyalah sebuah lelucon. "Terima kasih, Tuhan. Kamu tak apa? Aku mengkhawatirkanmu."
Abby bisa merasakan Louis tersenyum kecil di seberang sana. "Aku baik-baik saja," Louis mengambil jeda sejenak. Terdengar suara-suara orang di belakangnya yang ribut entah membicarakan apa. "Aku yakin kau sudah mendengar berita itu, bukan?"
Tubuh Abby kembali melemas, ia menyenderkan tubuhnya di kursi. "Jadi itu benar?"
Kali ini Louis senang sekali memberi jeda sebelum menjawab pertanyaan Abby. Namun hal tersebut malah membuat Abby bertambah panik.
"Aku tak apa sungguh. Jangan khawatir." Kali ini terdengar suara seseorang lewat pengeras suara, Abby tak dapat menangkapnya begitu jelas namun sesaat setelah itu orang-orang di dalam pesawat bertambah ribut. "Abby, para bajingan ini akan membawa kami kembali ke bandara."
Abby tak dapat menahan tangisan bahagianya. Perasaan senang itu membuncah begitu hebat. Louis akan kembali.
"Aku akan pulang," Louis menghela napas berat, "maafkan aku. Aku akan pulang, Abby."
Kening Abby berkerut, sedikit tak mengerti maksud ucapan Louis. Jantungnya berdebar dengan begitu cepat.
"Kamu tak akan melupakanku kan?"
"A-apa yang kau bicarakan?" Abby tergagap begitu mendengar pertanyaan yang disampaikan Louis dengan begitu tenang dan lembut.
"New York begitu indah pagi ini."
"Lou, beritahu aku apa yang terjadi," lirih Abby. Setengah mati ia mencoba menahan rasa perih di lehernya, "kumohon berjanjilah kau akan kembali ke sini."
"Aku tak bisa menjanjikanmu apa-apa, Abby. Maafkan aku."
"Tidak, Louis," Abby kembali menangis, mengundang lebih banyak perhatian dari orang di sekitarnya. "Berjanjilah kau akan pulang. Kita akan bertemu lagi di sini. Aku akan menjemputmu, membuatkan pie kesukaamu, aku--"
"Shh, semuanya akan baik-baik saja. Kau tak perlu menangis, Sayang," Louis berkata datar, menghalau nada cemas di dalam suaranya yang begitu terasa. "Jagalah dirimu baik-baik. Aku mencintaimu, Abigail."
Sambungan telepon terputus sebelah pihak. Alih-alih menjadi lebih tenang, Abby makin ketakutan. Lantas ia berdiri dan menyambar tas miliknya. Langkahnya pendek namun terburu-buru. Karlie berhasil mensejajarkan langkahnya dengan mudah.
"Mau ke mana?"
"Louis akan pulang. Aku harus menjemputnya di bandara sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
September Eleven | 1d ✔️
FanfictionLima kisah berbeda tentang cinta dan kehilangan dalam tragedi Sebelas September. [On Editing] Copyright © 2016 by Kryptonitexx