Brooklyn, New York, United States
11 September 2001
08:10 AM**
Wajah wanita itu merah padam. Kukunya memutih karena menggenggam pulpen terlalu keras. Ribuan sumpah serapah tertahan di tenggorokannya. Meski dari luar ia terlihat fokus membaca buku ekonomi di hadapannya namun sebetulnya ia tak mengerti satu katapun yang ada di buku tersebut. Ia belum mempersiapkan apapun padahal dua jam lagi ia harus menghadapi ujian.
Suara tawa yang disusul dengan gerutuan terdengar jelas dari ruang santai. Mengganggu. Ruby tak bisa berkonsentrasi karena suaranya. Tanpa disadarinya ia sudah menutup bukunya dengan kasar dan memejamkan matanya. Nafasnya berderu berat. Ia muak dengan sikap dia dua puluh empat jam terakhir.
Ketenangan yang diharapkan tak juga didapatkannya. Setidaknya setelah ia selesai membersihkan apartement, yang berantakan karena tunangannya membawa banyak teman, ia mendapatkan ketenangan itu.
"Ruby, ambilkan soda!" perintah itu menggema di apartement kecil yang mereka sewa bersama. Mendengus pelan, Ruby membuka matanya dan mengambilkan apa yang Liam inginkan. Ia merasa dirinya lebih pantas dipanggil pembantu daripada tunangannya Liam. Setiap hari ia akan disuruh Liam melakukan ini atau itu. Ruby merindukan Liam yang dulu. Yang selalu pengertian dan perhatian bukan yang merubahnya menjadi pembantu secara perlahan.
Ruby melangkah menuju ruang santai yang kembali berantakan. Padahal ia baru membereskannya tadi. Di sofa kumal itu, Liam duduk. Kedua kakinya berada di atas meja rendah di depannya. Terhitung sudah satu jam ia di sana tanpa mengubah posisinya sedikitpun.
Gigi Ruby bergemelutuk. Rahangnya mengeras. Genggamannya di botol soda makin keras. Botol itu berhasil dirampas Liam dari tangannya.
Dengan mata yang masih terkunci pada layar televisi Liam meneguknya dan menyerengit. Dipandangnya botol kaca yang dibawakan Ruby. "Aku maunya Coca-cola. Kenapa kau malah memberikan Sprite?"
"Karena hanya itu yang tersisa," jawab Ruby seadanya.
Liam berdecak pelan, tak mempercayai apa yang diucapkan tunangannya. "Kamu sebagai perempuan seharusnya tahu bagaimana mengurus hal-hal seperti ini."
Rahang Ruby mengeras. Dadanya seakan terganjal sesuatu yang berat. Sejujurnya ia tak pernah suka bertengkar dengan Liam karena ia tahu jika pertengkaran itu sulit untuk diselesaikan dan selama bertengkar pula ia yang selalu mengalah tanpa sebab.
"Kamu menyalahkanku?" tanya Ruby dengan nada tinggi.
"Siapa lagi yang harus disalahkan?" sahut Liam acuh.
"KAMU! Kamu yang seharusnya disalahkan, Payne! Yang kamu lakukan hanyalah memerintah ini dan itu. Kerjaanmu hanya duduk seharian di depan televisi sedangkan aku, aku kuliah lalu kerja di kafe dan baru pulang malam hari! Aku yang membayar sewa apartment ini dan kamu malah menyalahkanku!?"
Liam mendelik pada Ruby sebelum kembali menatap layar televisi. Wajahnya memerah.
"Aku lelah hidup begini saja denganmu, Liam," keluh Ruby. Matanya memanas menahan air mata yang terkumpul di pelupuk matanya.
"Aku sudah bekerja keras memenuhi kebutuhan kita," gumam Liam.
Ruby mendengus kesal. Rasa kesalnya tergantikan oleh amarah yang mulai mendidihkan kepalanya. "Kerja keras? Kamu bahkan tak punya pekerjaan."
Merasa direndahkan Liam membanting remote di tangannya dan bangkit. Sorot matanya gelap, membuat siapa saja takut untuk menatap langsung. Tapi tidak untuk Ruby. Wanita bersurai cokelat itu membalas tatapan sengit milik Liam.
"Aku punya pekerjaan," geram Liam dengan penuh pekenan di tiap katanya.
"Oh ya?" Ruby tertawa sarkastik, "kalau begitu mengapa tiap hari pekerjaanmu hanya bermalas-malasan!?"
"Karena aku sedang cuti," erang Liam.
"Bulan ini kamu masuk kerja hanya dua kali. Dua kali!" seru Ruby tanpa memperdulikan tiap sergahan Liam.
"Ayolah, berhenti menuntutku seperti para pekerja di luar sana yang sampai lupa dengan keluarga mereka sendiri karena pekerjaan mereka. Kamu seharusnya bersyukur jika aku terus di rumah."
Ruby menggeleng pelan. Ini sudah benar-benar keterlaluan. Liam selalu mengelak dan enggan menerima fakta yang ada.
"Dasar pengangguran brengsek," gumam Aubree pelan. Liam menangkap jelas gumaman itu. Amarahnya ikut terpancing. Dadanya bagai terbakar oleh sesuatu yang membuatnya ingin melakukan hal yang tak pernah dilakukannya pada Ruby.
"Apa katamu!?" bentak Liam.
Ruby melangkah mendekat, dan menempatkan jari telunjuknya tepat di dada bidang milik Liam. "Dasar pengangguran brengsek."
Plak!
Ruangan itu senggang, hanya suara televisi yang terdengar. Rasa perih menjalar di pipi Ruby, memberikan bukan hanya keperihan di sana namun juga di dalam hatinya. Sekarang apa yang ditakutkan Liam sebelumnya terjadi. Tak pernah ia melayangkan tangan ke wajah wanita itu sebelumnya. Tak pernah ia bermaksud menyakiti hati Ruby. Namun ego memengaruhinya. Wajah Ruby kini terlihat amat menyebalkan bagi Liam, membuatnya ingin kembali menamparnya.
Ruby kembali mendongak, menatap mata gelap Liam yang begitu tajam. Kelembutan di mata itu hilang. Cairan bening meluncur bebas di pipi Ruby.
"Jadi begini caramu memperlakukanku?" tanya Ruby dengan suara bergetar. Tangan kanannya memegangi pipinya yang memerah. Liam sadar yang ia lakukan itu salah. Tangan Liam mencoba meraih tangan Ruby yang dengan cepat menepisnya. "Hebat sekali, Liam. Aku terkesan."
"Ruby," panggil Liam lebih lembut. Di dalam hatinya ia terus menyumpahi apa yang barusan dilakukannya. Liam kembali mencoba. Kini ia bergerak mendekat namun Ruby langsung mengambil dua langkah mundur.
"Aku akan pergi. Setelah aku menutup pintu itu silahkan bereskan pakaianmu dan angkat kaki dari sini. Aku berharap tak pernah bertemu denganmu lagi, Bajingan," meskipun terdengar tegas, Liam bisa merasakan Ruby tak benar-benar serius mengusirnya. Dia terus mempertahankan keyakinan itu sampai Ruby membanting pintu dengan keras.
Kini ia mematung di tempatnya. Hampa di dalam dirinya terasa begitu jelas sampai-sampai ia merasa setengah dirinya dibawa oleh Ruby.
Apakah sebenci itu Ruby padanya hingga ia berharap tak pernah bertemu lagi dengannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
September Eleven | 1d ✔️
FanfictionLima kisah berbeda tentang cinta dan kehilangan dalam tragedi Sebelas September. [On Editing] Copyright © 2016 by Kryptonitexx