09.25 Liam Payne

377 82 9
                                    

Manhattan, New York, United States
11 September 2001
09.25 AM

**

Kaki Liam melangkahi 2 atau bahkan 3 tangga dengan cepat. Jantungnya berpacu begitu cepat selagi ia terus naik. Keringat membanjiri keningnya. Dia membenarkan posisi tabung oksigen di punggungnya. Jujur ia sendiri lelah namun bayangan seseorang di atas sana yang masih terjebak memberinya kekuatan.

Di belakangnya Reid membuntuti. Napasnya berderu kencang. Wajahnya memerah. Dia berhenti sesaat dikala Liam menjulurkan kepala di pintu darurat lantai 80, meminta tanda jika masih ada yang di dalam. Mereka melakukan itu di tiap lantai, menyisir apakah masih ada yang terjebak. Mereka tim pertama yang diberangkatkan, seharusnya mereka berempat namun kedua kawannya harus melakukan evakuasi besar-besaran di lantai 35.

"Kita lanjut lagi," ujar Liam, bersiap melangkah.

"Tunggu," Reid mengangkat tangannya di dada, meminta Liam untuk tak bergerak. "Aku hubungi Eagle dulu." Sebuah walkie-talkie hitam dikeluarkan Reid, suara desisan terdengar setelah ia menekan suatu tombol, "kita sudah di lantai 80, over."

Perhatian Liam teralihkan, ia mendekat ke arah pegangan tangga darurat dan mendongak, memandang jauh ke lantai atas. Liam bisa melihat titik kebakaran beberapa lantai di atasnya; asap abu-abu pekat yang membumbung tinggi. Dalam benaknya ia khawatir mendapati seseorang terjebak di atas sana. Karena butuh petugas yang lebih banyak untuk memadamkan api sebegitu besar.

"Kita harus turun," ujar Reid, menyudahi transmisi dengan ketua.

Liam mengerutkan dahi, "apa maksudnya? Di atas sana masih ada yang terjebak."

"Ya. Dalam keadaan mati," Reid menempelkan masker oksigen ke hidungnya, menghirup udara dalam-dalam. "Pesawat sialan itu menabrak di antara lantai 93 hingga 99, kemungkinan kecil ada yang bisa selamat di atas sana."

Liam berdecak kesal. "Aku akan tetap ke atas."

"LIAM!" bentak Reid, kembali menahan Liam. "INI PERINTAH!"

"Persetan dengan perint-"

Suara pintu tertutup disusul dengan langkah kaki terburu-buru membuat mereka bungkam. Liam melongokan kepala ke lantai atas, derap langkah kaki itu makin terdengar. Makin lama sebuah gumaman ikut terdengar dan terdengar jelas saat seorang pria beeambut pirang dengan kemeja biru yang acak-acakan menuruni tangga. Ia bersimbah air mata, pandangannya matanya mengarah lurus ke arah bawah. Tubuhnya bergetar hebat.

"Sarah terjebak, tolong, aku mohon, tolonglah," gumamnya, melewati Liam dan Reid yang tak bisa melepas pandang darinya.

Liam bertukar pandang dengan Reid penuh dengan arti, "sudah kubilang kan?"

Tanpa bicara apapun lagi Liam buru-buru menaiki tangga. Mengecek tiap lantai yang masih bisa dijamahnya.

81...

82...

83...

Sejauh ini semuanya aman. Tak ada yang terjebak. Liam mempercepat langkahnya menuju lantai 84. Hawa panas yang sangat dikenalnya menyambut. Di lantai 84, pintu tertutup rapat. Samar-samar ia mendengar suara seseorang meminta tolong. Dengan sekali tendangan ia bisa mendobrak pintu darurat.

Kobaran api tersulut di lorong yang menghubungkan tangga darurat dengan kantor. Beberapa orang terlihat melambaikan tangannya begitu melihat kehadiran Liam. Seruan-seruan minta tolong terdengar disertai batuk. "Reid," Liam menunjuk ke arah tabung pemadam api dengan dagunya.

Reid mengambilkan tabung yang terpatri di pojok tangga dan memberikannya pada Liam. Kemudian ia berlari ke bawah untuk mengambil tabung yang lainnya.

Berdua mereka memadamkan api. Liam mendengar suara retakan di atasnya yang kemudian diindahkannya. Yang terpenting sekarang keselamatan mereka yang terjebak di sana.

Api akhirnya berhasil dipadamkan, Liam dan Reid berlari mendekati korban yang ternyata jumlahnya lebih banyak saat ia masuk ke dalam perkantoran. Tiga orang tergeletak tak berdaya di lantai, memegangi dadanya yang sesak.

Reid langsung berjongkok di sebelahnya, memberikan masker oksigen.

"Bos kita terjebak di kamar mandi," ujar salah seorang karyawan berwajah oriental.

"Bisa kau berikan oksigen pada temanmu," ujar Liam, menurunkan tabung oksigen dan menaruhnya di dekat kaki seorang wanita yang tampak linglung. Wanita itu mengangguk, dan melakukan sesuai perintah Liam. "Di mana?"

Liam mengikuti pria tadi masuk lebih dalam ke kantor. Pria tersebut berhenti di depan sebuah pintu. "Kami sudah mencoba mendobraknya, tapi terlalu sulit."

Teringat dengan korban di lantai ini membuat Liam memaklumi. Dia mengetok pintu untuk memastikan.

"Andrew?" seru seseorang dari dalam yang bisa dipastikan itu adalah bosnya.

"Sir, saya minta anda menjauh dari pintu karena saya akan mendobraknya," Liam memegang gagang pintu, mempersiapkan tubuhnya. Setelah mendapat tanda jika bos itu tak berada dekat pintu, Liam menubrukkan tubuh bagian sampingnya dengan keras.

Sayang rasa nyeri itu tak terbayar, pintu masih tak dapat terbuka. Saat Liam menjauhkan tubuhnya lagi, Reid berseru kencang.

"SIALAN!"

Suara gemuruh menyusul. Lantai yang dipijak Liam bergetar. Karyawan di sebelahnya refleks berjongkok di lantai dan mengambil posisi berlindung.

Ketika mereka berdua bertanya-tanya apa yang terjadi, karyawati yang dimintai tolong oleh Liam muncul dengan mimik wajah yang sulit di baca. Dan kata-kata itu meluncur membuat jantung Liam seakan berhenti berpacu.

"Atapnya runtuh. Kita tidak bisa keluar."

.

A/N

Hai hai udah lama gak update hehehe maaf yaa

Sebelumnya mohon maaf lahir batin kalo ada salahh yak teman-teman

Btw, kalian mau aku buat ff tentang siapaaa nihh?? Harry? Ashton? Cameron Dallas? Chanyeol? Jungkook? Atau siapaa? Requestt sajaaa.... Hayoo siapaa pilih-pilihh, yang paling banyak aku jadiin tokoh di ceritaku yg baru~

September Eleven | 1d ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang