Lower Manhattan, New York, United State
11 September 2001
08:56 AM**
Jarum di alrojinya bergerak terlalu lambat. Zayn tak dapat duduk tenang. Kepalanya terus tertoleh ke arah belakang. Orang-orang berlari menjauhi gedung World Trade Center. Sirine polisi serta pemadam kebakaran terdengar di berbagai arah. Tanpa Zayn sadari ia melakukan kebiasaan buruknya; menggigiti kuku demi menahan rasa khawatir.
Ia terus memperhatikan tiap wajah dari kerumunan orang yang menuju ke pembatas polisi yang baru dipasang. Dalam bayangannya ia membayangkan wajah polos Chelsea yang tengah berdesak-desakkan dengan para pekerja lainnya, menuruni ratusan tangga untuk menyelamatkan diri. Tekadnya sudah bulat, jika dalam waktu tiga menit Chelsea tak juga turun, ia akan menyusul.
Mobil polisi bergerak mendekatinya. Keriuhan dan kepanikan amat pekat di luar sana. Suara sirine yang tertubi-tubi membuat suasana makin mencekam.
Zayn menggenggam erat ponselnya. Menunggu getaran dari benda kubus tersebut. Menunggu Chelsea menghubunginya karena nyaris sepuluh menit Chelsea tak mengangkat teleponnya.
Hari ini tak sebaik yang dibayangkan. Ia mengira pagi ini akan diawali dengan sesuatu yang baik, bukan hal mengerikan seperti ini.
Tanpa disadarinya, Zayn menggenggam ponselnya begitu keras hingga buku-buku jarinya memutih. Oh, andai saja tadi ia membujuk Chelsea untuk memberikan pekerjaannya esok, mungkin ia tak berada dalam keresahan ini.
"Maaf, Sir," ucap seseorang dari arah kanannya. Genggaman Zayn melemah. Petugas polisi dengan topi yang kebesaran membungkuk di sebelah jendela mobilnya yang terbuka lebar. Deru napas polisi itu tak beraturan, wajahnya memerah seperti tomat, dan keringat bercucuran di dahinya. "Anda harus berada di batas sana."
Jari telunjuknya diarahkan ke palang pembatas, jarak aman jika ada kemungkinan terburuk yang terjadi. Para warga mendongak di sana, terperangah tanpa mampu mengucap sepatah kata. Beberapa dari mereka sampai menitikkan air mata.
Zayn menggeleng cepat. Dia tidak ingin berada di sana tanpa keberadaan Chelsea di sisinya. "Aku menunggu tunanganku. Dia sedang diperjalanan menuju kemari."
"Anda bisa menunggu di sana, Sir," desak polisi itu.
Zayn kembali menggenggam ponselnya dengan erat dan menggeleng, "sebentar lagi dia sampai."
"Tapi, Sir-"
Suara Zayn pecah bersamaan dengan pelupuk matanya yang terasa makin pedih. "Dia akan kembali!"
Si polisi menghela napas, setengah tak sabar menangani Zayn yang keras kepala, "saya mengerti. Tapi-"
"Dia akan kembali! Persetan dengan keselamatanku!"
"SIR!" bentak polisi itu. Nada jengkel dan penuh ketegasan diterima Zayn yang termangu. "Gedung itu bisa runtuh kapan saja. Kami tak ingin menambah angka kematian. Jadi saya mohon untuk berada di jarak aman."
Untuk yang kesekian kalinya Zayn mengerling ke gedung Utara. Kepulan asap hitam masih menggantung di langit. Lembaran-lembaran kertas berterbangan tertiup angin. Atmosfir ketegangan masih begitu amat dirasakan. Mungkin polisi itu benar, dia harus menyelamatkan diri.
Menghela nafas, Zayn pun akhirnya turun dari mobil dengan berat hati. Polisi tadi langsung kembali bergabung dengan timnya setelah berhasil membujuk Zayn.
Berjalan di antara orang-orang lain yang dievakuasi hanya memperburuk mood-nya. Mengapa ia malah menurut pada polisi itu bukannya menjemput Chelsea? Dia tak sanggup berada di situasi menegangkan ini.
Lalu ke mana saja ia sedari tadi? Hanya duduk kebingungan di dalam mobil, berkali-kali membulatkan tekad yang diragukan oleh berbagai alasan, menatap kosong gedung pencakar langit itu terbakar perlahan. Jumlah waktu tersebut cukup baginya untuk berlari menyusul Chelsea. Mungkin saat ini mereka tengah berada di perjalanan menuju rumah orang tuanya sambil membicarakan peristiwa mengenaskan itu.
Saat Zayn berhasil mencapai papan pembatas, suara dengungan terdengar keras di atas kepala. Seorang wanita dengan kantong belanjaan di tangannya sontak berjongkok dan melindungi kepalanya. Zayn menyerengit, mempertanyakan apakah hanya dirinya yang mendengar.
Tak kurang dari 3 detik, Zayn menyadari itu bukanlah dengungan biasa. Ia mendengar dengungan yang sama beberapa saat yang lalu. Saat itulah kedua pupil mata Zayn melebar, jantungnya terpacu cepat. Zayn mendongakkan kepala dan menyaksikan kejadian yang tak disangka; sebuah pesawat kembali mendekat ke arah gedung kembar.
Semuanya terasa begitu lambat. Pesawat itu bergerak tanpa ragu menuju gedung selatan. Orang-orang disekitarnya terperangah untuk sesaat sebelum akhirnya menjerit dan berlarian untuk menyelamatkan diri.
Ledakkan besar terjadi di gedung selatan. Zayn terdiam, tubuhnya mati rasa. Ia tak dapat merasakan apapun.
Kenyataan itu sulit diterimanya. Ia berkata pada dirinya jika ini hanyalah sebuah ilusi. Ilusi yang terasa nyata. Setitik air mata melesat melewati pipinya.
Dengan sisa tenaga yang ada, Zayn berlari. Berlari melawan arus. Berlari untuk menyelamatkan Chelsea di sana. Air matanya makin mengalir cepat. Zayn memekik memanggil
nama Chelsea. Tubuhnya terdorong ke belakang saat seseorang menabraknya, namun ia tak peduli. Puing-puing ia dapati di sisi kanan dan kiri. Pintu gedung selatan sudah ada di depan mata. Hanya beberapa langkah lagi.Tiba-tiba tubuhnya ditahan oleh seseorang bertubuh lebih tegap darinya. "Di sini tak aman. Anda tidak boleh berada di sini," ucap seorang pemadam kebakaran dengan seragam lengkap.
"Dia ada di atas sana! Aku harus menyelamatkannya!" seru Zayn, memberontak dibalik halangan petugas itu.
"Reid, ayo cepat!" seru seorang petugas lainnya yang sudah siap dengan tabung oksigen ditangannya.
Reid menoleh sebentar dan menyahut, "tahan sebentar, Liam!" ia kembali beralih kepada Zayn, "oke, siapa namanya?"
"Chelsea Rowland. Lantai 70 Selatan," jawab Zayn cepat.
"Biar kuurus. Sekarang tunggulah di tempat aman. Aku akan membawanya turun untukmu," Reid menepuk pundak Zayn dan menyusul kawannya yang menunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
September Eleven | 1d ✔️
FanfictionLima kisah berbeda tentang cinta dan kehilangan dalam tragedi Sebelas September. [On Editing] Copyright © 2016 by Kryptonitexx