Emilia menggigiti kukunya sementara bunyi sambungan telepon terdengar di telinganya. Jemari kirinya mengetuk permukaan meja telepon. Keresahan ini membuatnya benar-benar gila.
Dia memandang Anne, mertuanya, yang melamun memandangi jemari. Matanya membengkak setelah menangis selama setengah jam. Fakta jika Harry benar-benar tidak ada di sisi Emilia membuat Anne hancur. Berkali-kali dia meraung menerka Harry tak ada di kantornya, berulang kali mengatakan ketidakpercayaan jika dia kehilangan putra bungsunya itu. Hal itu juga dirasakan Emilia. Dia mencoba menjauhkan pemikiran negatif yang menghantuinya terus menerus.
Namun gedung itu runtuh dan beberapa waktu sebelumnya Harry masih berada di ruangannya. Bagaimana ia bisa berhenti berpikiran yang tidak-tidak?
"Halo, Freeman Company. Ada yang bisa saya bantu?" seorang operator menyambutnya.
"Ya, saya ingin meminta konfirmasi korban selamat di WTC," pinta Emilia, menggulung kabel telepon dengan telunjuknya. Ini adalah ide Gemma untuk menelepon kantor pusat dari tempat kerja Harry setelah berkali-kali menghubungi nomor Harry yang tak aktif.
Keheningan tercipta sesaat sebelum akhirnya si operator menghela napas. "Maaf, kita masih belum mengetahuinya. Belum ada satupun dari cabang sana yang memberi kabar. Kami sekali lagi minta maaf."
Emillia memejamkan matanya, merasakan dadanya bergetar hebat. "Bisakah... Bisakah Anda menghubungi nomor ini jika ada kabar terbaru?"
"Ya, akan saya hubungi."
"Terima kasih." Emilia menempatkan gagang telepon ke tempatnya. Berbalik badan, ia kembali melihat Anne yang berkaca-kaca. Lantas ia duduk di seberang Anne dan menggenggam tangannya dengan erat. "Tenanglah, dia akan baik-baik saja."
Dalam hati ia merutuk dirinya. Bagaimana dia bisa berkata suaminya baik-baik saja jika dia sendiri tidak bisa meyakininya?
Pembawa acara berita terus menjabarkan deskripsi di tempat kejadian. Kacau. Itulah satu kata yang meringkasnya. Mile menonton berita dalam diam, sesekali menggerakan tangan robot-robotan miliknya dengan tak bersemangat. Mile menyadari apa yang tengah terjadi. Ia langsung berlari kencang menghampiri Emilia saat berita runtuhnya WTC ditontonnya, dia heboh menanyakan nasib ayahnya. Yang hanya Emilia bisa lakukan adalah mengelus rambutnya dengan lembut dan mengatakan kebenarannya.
"Mom, Emilia," Gemma angkat suara. Emilia langsung menoleh pada Gemma yang berdiri di belakang konter dapur, "ada yang ingin kukatakan."
Emilia dan Anne terdiam, membiarkan Gemma melanjutkan kalimatnya yang menggantung.
Gemma menarik napasnya dalam-dalam, dan berusaha untuk tak membuat kontak mata. "Harry menghubungiku sebelum gedung itu runtuh."
Sontak hal itu langsung mendatangkan keterkejutan bagi Emilia dan Anne.
Gemma menunduk dan membiarkan air matanya menetes, "a-aku benar-benar tidak tahu itu terakhirnya dia akan menghubungiku. Saat itu aku baru bangun tidur dan menganggap dia hanya bercanda. Tapi dia memohon padaku."
"Apa yang dia katakan?" tanya Anne.
"Dia masih di atas sana," Gemma terisak. Emilia merasakan tubuhnya melemas. Dinding pertahanan yang dibuatnya runtuh begitu saja. Kilatan wajah Harry melintas cepat di kepalanya, membuat ia sesak. "D-dia berkata padaku jika dia ingin Em untuk menjaga Mile dan Allison, dan meminta maaf karena tak bisa menemanimu membesarkan mereka. Dia berkali-kali mengucapkan betapa ia mencintaimu."
Emilia mengepalkan tangannya erat hingga bergetar. Napasnya menjadi berat dan kedua mata nanarnya membesar. Dia bangkit dan menghampiri Gemma. "DASAR PEMBUAL!"
Mile memekik keras memanggil ibunya. Anne bergerak cepat menarik Emilia yang nyaris melayangkan pukulan kepada Gemma. Emilia memberontak sesaat hingga akhirnya ia menangis lemah dipelukan Anne.
Ini hanya mimpi kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
September Eleven | 1d ✔️
FanfictionLima kisah berbeda tentang cinta dan kehilangan dalam tragedi Sebelas September. [On Editing] Copyright © 2016 by Kryptonitexx