Brooklyn, New York, United States
11 September 2001
10:00 AM**
Dave memandang lurus pada Ruby yang meneguk alkohol dari botol hijau. Sejujurnya ia lebih baik melihat Ruby mabuk dibanding memangis histeris seperti yang dibayangkan. Perasaan sedih seakan tak terlihat sedikitpun di wajah Ruby.
Wajah wanita itu tetap datar, matanya menatap kosong, dan tidak melakukan kegiatan apapun. Dave tahu sebetulnya Ruby menyembunyikan kesedihan itu. Tabiat itu sudah dikenalnya sejak ia menjadikan Ruby sebagai kekasihnya dulu.
Ruby membuka botol ketiganya, dan langsung meneguknya. Tangan Dave menahan pergerakan tangan Ruby yang menegukan alkohol terlalu banyak. "Cukup, Ruby!"
"BERIKAN BOTOLNYA!" pekik Ruby pada Dave yang berhasil merebut botol dan menjauhkannya.
"Kau sudah minum terlalu banyak."
"Lalu!?" sesaat mereka berdua hanya saling tatap. Ruby yang merasakan matanya memanas lantas menunduk. Ia menopang wajahnya dengan telapak tangan. Ini semua terasa seperti mimpi. Perasaan takut akan kehilangan seseorang yang dikasihi membunuhnya perlahan. Ia tak ingin kehilangan Liam sebrengsek apapun lelaki itu. Isakkan perlahan terdengar diantara telungkup tangannya. "Ini satu-satunya cara untuk membuatku berhenti memikirkannya."
"Kita bisa berdoa demi kebaikannya. Itu akan lebih baik," Dave menenangkan.
Ya, mungkin itu jauh lebih baik daripada meneguk banyak alkohol.
Deringan telepon terdengar. Ruby langsung berdiri dan menyambar gagang telepon. Dadanya berdegup cepat.
"Halo?" suara serak familiar itu seakan menghantarkan kehangatan lewat aliran darahnya.
"Liam," lirihnya. "Kau baik-baik saja?"
Terdengar suara terbatuk jauh si belakang Liam. "Ya-- maksudku tidak. Aku terjebak di lantai 84. Semua akses tertutup. Ada titik kebakaran juga di sini. Asapnya sangat banyak," napas Liam bersiul, "sangat sesak, Ruby."
Ruby menyenderkan tubuhnya yang lemas ke dinding. Lagi-lagi ia menangis. Dave bangkit dari kursi, menatap Ruby penuh tanya. Ini tidak mungkin akhirnya kan? "Apa kau sudah memanggil bantuan?"
"Reid yang melakukannya. Bantuan akan segera datang." Mereka terdiam, hanya suara napas Liam yang nyaring terus terdengar. "Tenanglah, honey. Aku akan baik-baik saja. Pemandangan di atas sini begitu indah. Aku berharap tengah melihat ini bersamamu."
Ruby menggigit bibirnya, menahan tangis. Dalam hatinya ia berteriak meminta Liam menghentikan semua ini. Jika Liam tidak benar-benar pergi ke gedung kembar dan entah dimana tengah mengerjainya, sungguh sangat keterlaluan. Itu salah satu hal yang dipikirkan Ruby; Liam hanya mengerjainya. Setidakmya itu membuat Ruby bertahan dalam pemikiran positifnya.
Dia tak akan kehilangannya kan?
"Aku minta maaf," ucap Liam tiba-tiba. "Maaf jika aku tak menjadi lelaki yang baik bagimu. Aku selalu berusaha tapi sepertinya hasilnya malah buruk bukan?"
Ruby tak kuasa lagi, ia membiarkan air matanya terus mengalir.
"Tapi ketahuilah, kau satu-satunya wanita yang ada dihidupku. Aku-" suara teriakan panik dari orang-orang di belakang Liam membuat Ruby tertegun. Suara gemuruh terdengar jelas. "Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku-"
Sambungan telepon terputus begitu saja. Arah mata Ruby menangkap layar televisi yang menampilkan runtuhnya gedung World Trade Center. Gagang telepon terjatuh ke lantai.
A-Apa aku baru saja kehilangannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
September Eleven | 1d ✔️
FanfictionLima kisah berbeda tentang cinta dan kehilangan dalam tragedi Sebelas September. [On Editing] Copyright © 2016 by Kryptonitexx