University of Maine, Maine, United States
11 September 2001
08:25 AM**
Abby bergegas menuju gedung kampusnya setelah ia mengunci mobil sedan milik ayahnya. Ia berlari menerobos para mahasiswa lainnya yang memenuhi jalan menuju gedung. Bayang-bayang dosen yang mengomelinya bagai terpampang tepat di depan wajahnya, ia makin memacu lajunya. Lima menit sudah ia terlambat. Ini sudah yang keenam kalinya dalam bulan ini. Dosennya pasti akan mengamuk dan mengusirnya tapi ia merasa masih ada setitik harapan baginya. Abby si Lelet adalah julukan yang diberikan si Dosen dan disebarluaskan hingga satu kampus tahu mengetahui julukannya. Untung Louis dapat melempar balik cemohan itu dengan lidah pedasnya.
Louis. Karena lelaki itu ia telat dan selama perjalanan bibir Abby tak luput dari gerutuan penyesalan karena tunduk pada permintaan kekasihnya yang manja. Tapi apa daya, Louis selalu bisa meluluhkan hatinya. Bagai bisa menghipnotis, ia mampu membuat Abby mengangguk padanya.
Meskipun ketelatan ini salahnya sendiri karena tidur dulu sepulang dari bandara tapi ia tetap menyalahkan Louis. Saat Louis sampai di Los Angeles, ia akan menelfonnya dan meminta pertanggung jawaban.
Jaket denim kebesaran milik Louis masih melekat di tubuhnya. Aroma lelaki itu tercium begitu kuat hingga membuat Abby merasakan kehadiran Louis di sisinya. Kalau sedang tidak terburu-buru mungkin kini Abby tengah mendekap jaket itu.
Abby masuk ke dalam gedung dengan nafas yang terengah-engah. Suara gaduh perlahan memudar. Orang-orang berhenti bergerak, Abby yang kaget pun juga ikut berhenti. Semua pandangan kini mengarah padanya. Pandangan khusus yang tak pernah didapatinya (kecuali ketika tengah bersama dengan Louis) kini ia rasakan. Terbesit sebuah kesedihan dan rasa iba yang tampak di tiap pasang mata itu. Beberapa dari mereka mendekat kepada temannya dan berbisik.
Abby mematung di tempatnya dengan alis yang tertaut. Tak mengerti akan apa yang tengah terjadi di sekitarnya. Ia melirik ke pakaiannya yang terlihat normal-normal saja lalu kembali kepada kerumunan orang-orang di depannya.
"Abby!" seseorang menyeruak di antara kerumunan itu. Matanya melebar dan wajahnya bagai habis melihat hantu. Rambut hitamnya kini lebih berantakan dari biasanya. Ia terengah-engah berdiri di depannya. Cepat ia menoleh kepada kerumunan dan membentak mereka untuk tak mencampuri urusan orang lain. Sontak kerumunan membubarkan diri.
"Ada apa, Clark?" tanya Abby pada salah satu sahabat karib Louis, Clark Taylor, setelah puas membentak-bentak. Wajah Clark sedikit memerah. Tak pernah ia melihat Clark seperti itu, biasanya ia selalu ceria sama seperti Louis. Clark hanyalah satu-satunya dari sekian banyak sahabat Louis yang Abby kenal betul.
Louis memang aktif dan pandai membuat teman. Ia suka bercerita. Saking pandainya bercerita, ia akan menceritakan apapun yang menyenangkan pada siapapun yang ditemuinya. Kecuali disaat ia bersedih, hanya Abby lah tempat ia mencurahkan perasaannya. Semua orang menyukainya. Berbanding terbalik dengan Abby yang lebih kalem dan kurang bersosialisasi.
"Di mana Louis?" tanya Clark cepat dengan suara yang sedikit bergetar.
"Dia ke Los Angeles. Bukankah kau tahu itu?" Abby cukup terkejut mendapati Clark yang tak tahu ke mana tujuan sahabatnya hari ini. Seingatnya Louis sudah menceritakan kepulangannya sekitar dua minggu yang lalu dan Louis memastikan satu kampus tahu mengetahui hal itu. Mata Clark menggelap. Ia melongo menatap Abby. "Apa ada yang salah?"
Tanpa menjawab pertanyaan Abby Clark menarik pergelangan tangan wanita itu menuju kantin. Pagi ini kantin penuh dengan para siswa. Mereka tidak menyebar di beberapa tempat melainkan berkerumun di satu sudut, berdiri mematung. Begitu hening sampai Abby merasa jika waktu ikut berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
September Eleven | 1d ✔️
FanfictionLima kisah berbeda tentang cinta dan kehilangan dalam tragedi Sebelas September. [On Editing] Copyright © 2016 by Kryptonitexx