Jantung yang berdetak tak karuan
Hati yang gelisah memendam kekhawatiran
Serta peluh beku yang membasahi wajahku
Entah kapan terakhir kali Aku merasakan perasaan seperti ini, bahkan saat kumelarikan diri dari desa perasaanku tak sekalut ini. Saat itu Aku masih belum sedewasa ini. Mendapatkan kebijaksanaan Ratu Laut Selatan dan kesadaran sebagai salah satu penerusnya.
Awan kelabu menyelimuti, padahal hari masih siang. Seakan matahari tak mau lagi menerangi. Pertanda buruk bagi beberapa orang, karena tak biasanya awan mengumpul di siang terik permulaan musim kemarau ini.
Tanganku bergerak menyentuh kaca, menggoresnya perlahan bagaikan ingin menghentikan hujan, tapi apa dayaku? Angin terlihat malah berhembus semakin kencang pertanda bahwa hujan sebentar lagi akan turun.
Kulihat Kak Ajeng keluar menuju halaman belakang, mengambil jemuran yang lupa diangkat. Harusnya hal itu menjadi pekerjaan Kak Aya. Tapi semenjak kepergiannya tempo hari, Kak Ajeng jadi terlihat lebih sibuk dari biasanya.
Aku lompat dari kusen jendela, berjalan setengah berlari keluar dari kamar.
"Kau mau kemana Lia?"
Sebuah suara berat, menghentikan langkahku tepat sebelum menuruni tangga. Tanpa menolehkan wajahku Aku sudah tahu siapakah pemilik suara itu.
"Ah... Uwo. Aku..."
"Kau merasakannya juga bukan? Ada sesuatu dengan kekuatan besar bergerak tiba-tiba?
Perubahan awan, cuaca, tekanan roh yang mendadak menjadi pekat. Sebagai orang yang mewarisi gelar Ratu Laut Selatan pasti paham bukan apa yang terjadi."
Uwo menatapku dengan tatapan serius, tak biasanya Ia memperlakukanku seperti itu. Dimataku Ia hanya seorang teman yang menggantikan peran keluargaku. Sebagai kakak dan mungkin pengganti Ayah. Selama ini Ia hanya terlihat bermain-main denganku, tapi hari ini Uwo seakan ingin menunjukkan tanggung jawabnya sebagai pengawalku.
"Bolehkah Aku pergi?"
Mulutku terasa kelu, Aku tidak benar-benar tahu apa yang terjadi. Meski Aku bisa memanggil Bayu dan Segara, tapi Aku tak benar-benar yakin akan kekuatanku. Tapi jika Aku diam saja maka hal yang lebih buruk mungkin akan terjadi pada Kak Aji maupun Kak Aya.
"Ahh Lia, bisa tolong bantu Aku?"
Suara kecil terdengar samar dari bawah tangga, melihat Kak Ajeng yang tangannya penuh oleh pakaian membuatku langsung tergerak untuk membantunya. Tapi tepat saat tubuhku melewati badan gorilla Uwo. Ia berbicara setengah berbisik kepadaku.
"Kalau kau tak segera bertindak, calon Rajamu mungkin akan mati Lia."
Kata-kata Uwo tertanam dalam diriku begitu saja, bahkan kepalaku memikirkan hal yang tidak-tidak saat Aku membantu Kak Ajeng meletakkan pakaian-pakaian itu di kamar kosong yang biasanya digunakan Kak Aji untuk menyetrika baju-bajunya.
"Lia... ada apa?"
Suara Kak Ajeng membuyarkan lamunanku, Ia kini berdiri di sampingku dengan tatapan wajah teduh yang tertutupi oleh sebagaian rambut hitam berponinya. Sosoknya yang dibalut kain kotak-kotak sembari membawa keranjang pakaian mengingatkanku pada seseorang. Ingatanku melayang begitu jauh, sampai-sampai air mataku dibuat mengalir olehnya.
"Lia kenapa?"
Kak Ajeng berjongkok, mengambil sapu tangan dari saku bajunya, lalu Ia gunakan untuk menghapus air mataku di pipinya. Suara jujurnya terlihat begitu mengkhawatirkanku, bukankah dimatanya Aku hanyalah orang asing? Aku bahkan membohonginya tentang hubungaku dengan Uwo.

KAMU SEDANG MEMBACA
Malam Jumat [3] Paku Puntianak
ParanormalBuku Ketiga Dari Seri Malam Jumat Setelah berhasil mengalahkan Chandra dan mendapatkan Aya kembali ke sisinya Aji dihadapkan dengan pengguna Paku Puntianak lainnya, dan juga sebuah organisasi bernama Gagak Hitam. Bagaimana nasib Aji dan Aya se...