16 - Pertarungan Kilat dan Matahari

586 46 7
                                    

"Datanglah, Lintang Kemuning!"

Geraka pergerakan kilat ungu tiba-tiba berubah dan menyambar Paku Puntianak milik Baskara, cahaya kekuningan beradu dengan warna keunguan dari kilat yang menyambar milik bocah misterius yang tiba-tiba menyerang kami.

Setelah kilat itu menghilang, lintang kemuning milik Baskara segera di tembakkan, sayang serangan itu hanya membuat gerbang besi yang dipijak oleh Sigit meleleh.

"Cukup berbahaya juga ya, meski belum berada dalam wujud keris Betari."

Sebuah kilatan cahaya perak muncul menyerang Sigit, akan tetapi Ia dapat menghindar dengan amat mudah. Di saat itulah serangan kedua muncul dan berhasil menghempaskan Sigit ke tanah. Aya yang melancarkan serangan kedua tak sempat menghindar saat Sigit membalasnya dengan kilat ungu miliknya.

"Cih, padahal Aku sudah repot-repot menggunakan Betari Nila."

Aya dan Sigit terjatuh ke tanah dengan bersamaan, tapi berbeda dengan bocah aneh itu, Aya segera bangkit dan siap menyerang. Luka yang Ia dapatkan dari serangan Sigit membuatnya kesakitan, akan tetapi Ia masih memiliki kekuatan untuk bergerak.

Aura keunguan semakin pekat menyelimuti Keris misterius milik Sigit yang bergerigi bagaikan kelabang, kabut ungu tiba-tiba kembali muncul disekitar tubuhnya.

"Empat lawan satu ya? Benar-benar tidak adil. Datanglah! Adik-adikku!"

Sigit menjatuhkan Kerisnya ke tanah dan langsung menancap dengan mudah, kabut ungu muncul semakin banyak dan perlahan membentuk sosok-sosok anak kecil yang tingginya nyaris sama dengan Sigit. Begitu kabut ungu mulai pudar, sosok-sosok di sekitar Sigit terlihat semakin jelas.

Anak-anak kecil, dengan kepala botak, kulit pucat, dan cawat putih di selangkangan mereka.

Mata anak-anak itu memancarkan warna ungu pekat, jari jemari mereka terlihat tajam, begitu juga sebaris gigi kecil di mulut mereka.

"Gawat, Tuyul... Jika sebanyak ini kita akan sulit mengatasinya."

Aya berbisik perlahan, sosok-sosok itu terlihat menyeringai saat melihat kami. Sigit kini terlihat bagaikan Raja yang memerintah pasukannya. Tanpa tuyul-tuyul itu Sigit sudah sulit terkalahkan, meski kami bereempat tapi semua ini benar-benar sulit.

"Aji... Bisakah kau menggunakan Bara Anginmu untuk menghisap mereka?"

"Tentu saja! Kau mau menggabungkan Lintang Kencana dengan Bara Angin?"

"Kalau begitu kami yang akan menahan mereka untuk sementara waktu!"

Aya dan Widia segera meluncur menuju tempat musuh, Widia menghisap setiap tuyul yang datang menyerang dan memakannya. Hal itu membuat Widia semakin kuat dan pergerakannya semakin cepat, sementara itu Aya yang mengandalkan kecepatannya berusaha menyerang Sigit yang sama cepatnya dengan dia. Serangan dari kilat ungu milik Sigit berkali-kali muncul, dan tak ada satupun yang mengenai Aya. Bagus, gadis berambut panjang itu berhasil mempelajari pergerakan Sigit.

Tuyul-tuyul lain datang dari balik pintu gerbang, mereka seakan tak ada habisnya!

"Lingsir Wengi

Ingsun Gusti Ingkan Andap Ashor, Aku Nyeluk Kowe, Betari Geni!"

Nyala api muncul dari Paku Puntianak di tanganku, terasa hangat dan nyaman tergenggam di tanganku. Semilir angin perlahan memutar nyala api itu dan menyelimutiku dalam pusaran angin api. Kuarahkan Paku Puntianak pada tuyul-tuyul di hadapanku, beberapa dari mereka meloncat dan mulai menyerang. Tapi dengan satu tebasan tubuh mereka hancur menjadi abu.

"Datanglah! Bara Angin!"

Udara malam tiba-tiba terasa hangat, lalu panas. Seakan hawa dingin terhisap ke dalam Paku Puntianakku. Tuyul-tuyul yang menyadari keanehan itu segera mencoba kabur dan menyerangku melalui arah belakang tubuhku.

"Kencana Kemuning, makan mereka!"

Tuyul-tuyul itu menghilang dan segera menjadi makanan Betari Janur yang bersemayam di dalam Paku Puntianak milik Baskara. Beberapa tuyul lain mencoba menyerang Baskara, dan tepat saat itulah Kencana Kemuning memuntahkan tuyul-tuyul yang Ia makan dalam bentuk sinar Lintang Kencana.

"Astaga... mereka banyak sekali. Lakukan sekarang Aji!"

"Hisap mereka, Betari Geni!"

Angin puyuh yang terbakar api segera muncul dan menghisap semua tuyul di hadapannya, beberapa detik kemudian kulempar tuyul-tuyul itu pada Baskara, membiarkan mereka semua terhisap pada Paku Puntianak Kencana Kemuning.

Begitu mendapatkan makanan sebanyak itu, Kencana Kemuning mengamuk dan menghisap nyaris semua tuyul di hadapannya. Menyadari akan hal itu Aya dan Widia segera menghindar, Sigit yang terlambat menyadari apa yang terjadi segera menjadi target tembak bagi Betari Janur.

"Hancurkan dia! Lintang Kemuning!"

Cahaya berwarna kuning keemasan muncul dan menghajar Sigit dengan aura panas membakarnya, kututup mata demitku untuk mengurangi cahaya menyilaukan yang muncul darinya. Tanpa menggunakan mata demit, Lintang Kemuning dapat dilihat dengan mata telanjang karena intensitas aura yang dimilikinya cukup besar untuk bisa masuk ke dalam gelombang spektrum warna mata manusia.

Sigit tak menghindar, Ia malah menggunakan Keris miliknya untuk melindungi tubuh bocahnya dari serangan itu. Cahaya kuning Lintang Kemuning beradu dengan kilat ungu milik keris Sigit.

"Lesus Bledek!!!"

Sigit berteriak kesetanan, kilat ungu bergerak dengan liar, cahaya lintang kemuning mulai meredup dan kini digantikan oleh kilat ungu bercampur angin yang datang dengan tiba-tiba.

"Kencana Kemuning, makan petir itu!"

Baskara maju dan memposisikan Paku Puntianaknya sebagai penangkal petir, kilat-kilat itu segera menyerang Kencana Kemuning. Tapi tak seperti biasanya, Kencana Kemuning tak mau memakan kilat itu. Ledakan besar terjadi dan melemparkan Baskara.

"TUAN BASKARA!!!"

Widia segera terbang melayang cepat untuk menahan tubuh Baskara dari jatuh ke tanah.

"Ahh terimakasih Widia..."

Langit semakin gelap, awan hitam seolah menelan segalanya, keris di tangan Sigit semakin mengamuk dan mengeluarkan listrik statis keunguan yang siap untuk ditembakkan kemana saja.

"Cih, kalian pikir bisa mengalahkan Keris Betari dengan Paku Puntianak milik kalian?

Paku Kencana Kemuning yang yang menyimpan cahaya fajar, dan Paku Wesi Abang yang menyimpan cahaya senja.

Melihat kegigihan kalian melawan Kecubung Wulungku yang kini berada dalam wujud Keris Betari Nila hanya memperlihatkan kebodohan kalian.

Datanglah, Lesus Bledek!"

Badai listrik statis muncul kembali, dan kali ini lebih besar tanpa Lintang Kemuning yang menghalanginya. Wesi Abang milikku dan Kencana Kemuning milik Baskara sudah kehabisan tenaga, warna aura mereka meredup seakan tak bisa digunakan lagi.

Kulihat Aya yang memegang dada kanannya, serangan dari Sigit masih berdampak kepadanya, dan Widia yang berdiri tak jauh darinya sudah terlalu lelah untuk bertarung setelah menghajar hampir setengah dari tuyul yang muncul menyerang kami.

Dengan mudahnya Sigit melancarkan serangannya, badai listrik itu datang dan megarah tepat kepada kami semua. Sampai kemudian sebuah dinding api muncul di hadapan kami.

Serangan Sigit sia-sia, dinding api itu seolah tak membiarkan kami tersentuh sedikit pun oleh badai listrik yang muncul untuk menelan kami.

"Lindungi mereka! Wahai Jidaru Min Annarku yang cantik!"

Dinding itu membentuk dirinya menjadi sebuah sangkar setengah lingkaran yang menyelimutiku, bersama dengan Baskara, Widia, dan Aya. Mendengar suara mungil itu, Aku segera menyadari siapakah sosok yang telah melindungi kami.

"Khumaira Agnia Efreet!"

Malam Jumat [3] Paku PuntianakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang