29 - Agniloka

531 40 4
                                    

Api, sosok yang membakar semuanya di kala senja itu.

Senja yang mengakhiri segala-galanya.

Aku yang masih begitu kecil hanya bisa berlari dari api itu, api yang merenggut segalanya dariku.

Menghancurkan pondok kecilku, anak ayam peliharaanku, taman bunga kesukaanku, dan juga keluargaku.

Mereka semua mati terpanggang api, dan kata terakhir mereka adalah "lari!"

Mereka memintaku untuk pergi meninggalkan mereka, memberikanku kesempatan untuk hidup hanya karena Aku adalah si bungsu kecil yang lebih berhak hidup daripada mereka.

Setelah mengingat hari berapi itu, Aku selalu ingin tahu. Kenapa hanya Aku? Kenapa hanya Aku yang dibiarkan hidup?

Apakah karena mereka sudah terlalu bosan untuk menderita demi hidup?

Aku ingin bertanya pada mereka, tapi saat Uwo menemaniku ke sana tempat itu sudah menjadi abu.

Dan salah satu dari segenggam abu itu kini bangkit seperti hantu dan berdiri di hadapanku.

Angin berhembus dengan cepat, meniupkan titik-titik bara api dari busur api yang tergenggam di tangan kakakku Budi. Bara api itu, dan juga asapnya memaksaku untuk mengingat sore berapi itu. Seakan-akan nyala api di masa lalu itu kini mendatangiku untuk membalas dendam.

"Sebegitu tertariknyakah kau pada busur kakak, Lia?

Agniloka, itu adalah busur milik Kakak. Tidak seperti senjata pusaka lainnya, Ia sebenarnya tidak memiliki wujud.

Ia adalah pusaka qarin milikku. Terbentuk dari ingatanku tentang bagaimana rumah kecil kita hancur menjadi debu."

Kelelawar Merah di atas punggung Kakak mengepakkan sayapnya dengan cepat, entah mengapa dia bergerak menjauh. Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, Segara segera mengurangi ukuran Tirta Segara dan mengubahnya menjadi lebih tebal dan keras.

"Mewujudlah, Caraka!"

Sebuah panah api, bergerigi dengan mata panahnya membentuk kepala naga. Panah itu muncul dalam bentuk selubung api berwarna oranye di tangan Kak Budi.

"Rasakanlah Lia, bagaimana perasaan Kakak saat kabur dengan luka di seluruh tubuh dan hati yang hancur melihat semua yang Kakak miliki direnggut begitu saja!"

Semilir angin seketika berhenti, lalu sebuah suara siulan panjang datang dan diikuti oleh suara ledakan keras tepat di depan wajahku.

Tirta Segara hancur seketika. Bahkan Segara yang selama ini sudah berpengalaman dengan pertarungan antar demit juga memekik melihat pelindung yang Ia ciptakan hancur seketika.

"Pelindung yang cukup hebat, padahal seharusnya hanya dengan serangan tadi kau sudah hancur bersama naga kesayanganmu, titisan Ratu Laut Selatan!"

Serangan kedua datang, kali ini Kelelawar merah melayang di atas kepalaku dengan ujung panah yang terhunus ke arahku.

"Kena kau..."

"Tirta Sega... Ahhh..."

Segara memekik setelah sebuah panah mengenai ekornya, tubuhnya menjadi tidak terkendali dan nyaris membuatku kehilangan keseimbangan. Sebuah tangan tiba-tiba menarikku dengan keras, dan menjatuhkanku dari punggung Segara.

"Kakak..."

Busur api di tangan laki-laki itu menghilang, tangan kanannya membekap mulutku, sementara tangan kirinya memeluk tubuhku dengan erat. Samar-samar kulihat Segara di atas sana, Ia mencoba terbang menukik untuk menyelamatkanku. Tapi keleawar merah itu menghalangi Segara dengan sayap besarnya.

Malam Jumat [3] Paku PuntianakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang