18 - Agnia dan Aji

633 53 30
                                    

Tengah malam telah lewat, Aku benar-benar bersyukur akhirnya kami mendapatkan penginapan yang buka 24 jam, lebih untung lagi Aku tak perlu memikirkan biaya sewanya karena Baskara sudah mengurus semuanya untukku.

Suasana terasa begitu sepi, Aya dan yang lainnya sepertinya sudah pergi ke kamarnya masing-masing untuk beristirahat. Di atas sebuah balkon dengan pemandangan pegunungan terhampar Aku berdiri disana. Menatap kerlap kerlip lampu yang menghiasi pemandangan di hadapanku, kerlip lampu itu seolah mencoba menyaingi gemerlap bintang di atas sana.

Rasa-rasanya tidak mungkin bisa melihat pemandangan langit berbintang dengan lampu-lampu kota, karena biasanya yang satu akan mengaburkan cahaya yang lain. Entah siapakah yang menata kota di atas pegunungan itu, tapi siapapun dia orang itu benar-benar jenius.

Namun meskipun begitu, Nina pernah berkata bahwa seandainya seluruh listrik di dunia ini padam maka galaksi atau bahkan nebula akan terlihat begitu jelas pada langit di atas kepala kita.

Aku tak menyangkalnya.

Selalu ada yang dikorbankan agar umat manusia bisa maju, akan tetapi haruskah keindahan alam yang menjadi korbannya.

Kuambil telepon genggamku, menekan beberapa angka dengan cepat lalu segera memanggil nomor itu.

Apakah dia sudah tertidur? Aku harap tidak, Ia sudah berjanji padaku untuk siap menerima panggilan dariku meskipun kiamat terjadi sekali pun.

"Halo..."

Sebuah suara halus nan lembut terdengar, Aku segera menjawabnya dengan lirih. Lalu melihat kesekeliling dan berharap tidak ada siapapun yang menyadari dengan siapa Aku berbicara.

"Maaf Kak Alina mengganggu"

"Ahh Aji, Aku sudah menunggu lama. Tapi tak apa, ngomong-ngomong untuk laporanmu... Aku akan menghubungkanmu dengan orang yang seharusnya mendengarnya..."

"Baiklah Aku mengerti, dari awal sebenarnya Aku memang berharap agar Kakak bersedia untuk menghubungkanku dengan orang itu."

Terdengar suara bergemeresak dari sepaker handphone, lalu tak lama kemudian suara seorang laki-laki tedengar begitu jelas di telingaku.

"Hallo bocah, menantangku lagi?"

"Aku tak punya waktu untuk berbasa-basi denganmu Chandra. Sekarang bisakah kau jelaskan tentang Keris Betari dan juga Puntianak?"

..................................................................................................................................................................

Butuh waktu lima belas menit untuk menceritakan apa yang terjadi selama pertarungan pada Chandra, dan juga lima bela menit penjelasan tentang Keris aneh yang digunakan oleh bocah misterius kemarin.

Keberadaan yang terlahir bersamaan dengan Puntianak

Bahkan Chandra yang kata Kakek Slamet berumur lebih tua darinya tidak mengetahui apapun tentang pencipta konsep dari Puntianak. Lalu kemana lagi Aku harus bertanya?

Jika yang diceritakan oleh Kakek Slamet tentang Puntianak benar, maka usia keberadaan mereka pasti menyamai sejarah manusia itu sendiri. Lalu kemudian nenek moyang orang Indonesia mulai mencari cara untuk menundukkan mereka dengan Paku Puntianak.

Istilah penggunaan Puntianak sendiri berasal dari Kalimantan, jadi mungkin orang-orang dari sanalah yang pertama kali memperbudak mereka.

Lalu kalau memang begitu, kenapa mantera pemanggilan mereka menggunakan bahasa Jawa?

Kepalaku berpikir terlalu keras untuk sebuah pertanyaan yang takkan kutemukan hanya dengan memikirkannya, kuhela nafas panjang dan melihat pemandangan dihadapanku sedikit lebih lama.

Malam Jumat [3] Paku PuntianakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang