09 - Aji dan Ajeng

594 45 4
                                    

Setelah perbincangan yang begitu panjang itu, Aku dan Aji memilih segera pulang saat matahari mulai condong ke arah barat. Baskara mengantar kami sampai ke perumahan di dekat rumah, lalu meninggalkan kami setelah membuat kesepakatan untuk tidak saling mengganggu aktivitas masing-masing.

Kami saling bertukar kontak dan Baskara memberikan kami kartu nama dengan keterangan pekerjaan "Pembersih Sampah". Setelah cerita panjang yang Baskara ceritakan, Aku terpaksa menceritakan jati diriku sebagai manusia yang bertukar kehidupan dengan Puntianak, dan Aji terpaksa menceritakan masalah keluarganya.

Saling berbagi kelemahan, begitulah kesepakatan antara kami. Setidaknya setelah pertarungan yang melelahkan itu, Aku berhasil mendapatkan seorang teman baru, yang juga merupakan Puntianak.

Hari semakin sore, udara dingin membuat orang-orang menjadi malas keluar dari rumah. Entah kenapa, angin sore ini terasa berbeda dengan hari yang lain. Dedaunan kering berguguran, lalu bergelimpangan di antara sepatuku.

Sepulang dari apartemen Baskara, Aji lebih memilih diam. Entah mengapa api kehidupan di matanya terlihat redup dan hampir padam.

"Ada apa Aji?"

Laki-laki itu menggeleng, tanpa melihat wajahku Ia melangkahkan kaki semakin cepat seolah ingin segera bergegas pulang.

"Tunggu!"

Kupegang erat tangan Aji, membuat langkahnya terhenti. Menceritakan masa lalu itu memang seakan membuka luka lama yang telah lama kita lupakan. Tapi jika kita menolak masa lalu, bukankah itu sama saja dengan menolak diri sendiri?

"Kau masih belum bisa memaafkan Ibumu? Kau bisa menerima Ajeng, tapi kenapa kau tak bisa menerima ibumu?"

Untuk sejenak Aji terdiam, kedua matanya terus menghindar dariku. Seakan Ia tak ingin melihat Aku melihat apa yang kini ada di dalam pikirannya.

"Itu bukan urusanmu!"

"Aku sekarang milikmu Aji, dan semua yang ada padamu adalah milikku. Termasuk masa lalumu."

Aji menepis tanganku, lalu kembali berjalan. Tapi Aku berjalan mendahuluinya dan berdiri di hadapannya. Menatap kedua matanya dengan tajam, tepat menusuk pada kedua bola matanya yang redup.

"Aku dan Ajeng hanyalah korban, dia juga tak pernah menginginkan pernikahan itu!

Jika pernikahan itu tak pernah terjadi, Aku dan Ajeng juga bukanlah siapa-siapa!"

"Tapi pernikahan itu yang mempertemukan kalian bukan?"

"Dan Aku yakin Ajeng pasti akan mendapatkan saudara yang lebih baik dariku!"

Pada akhirnya Aku tak mengetahui apapun tentang Aji, Ia selalu menyembunyikan semuanya. Sikapnya yang seolah ikut campur urusan orang lain, kontrak yang Ia buat denganku, dan alasan kenapa Ia menjadikan tempat tinggalnya sebagai rumah Lia dan Joko hanyalah sebuah pelarian dari keluarganya yang Ia tolak.

"Tapi tanpa pernikahan itu kau takkan bertemu denganku bukan?"

"Aku yakin pasti kau mendapatkan kontraktor yang lebih baik dariku"

"PLAK!"

Tanganku melayang menampar pipi kiri Aji dengan tangan kananku, raut wajahnya tak berubah sama sekali. Tatapan mata kosong masih menghiasi wajahnya, begitu juga nyala api redup pada kedua matanya.

"Kalau pada akhirnya kau memang hanya menanggapku sebagai pelarian, kenapa kau harus menyelamatkanku dari Chandra?"

"Karena Aku yakin Pak Tua Slamet akan membunuhku jika Aku melakukannya."

Aji mendorong tubuhku ke samping untuk membuka jalan untuknya, tapi Aku tak peduli. Berkali-kali Ia mencoba pergi, maka berkali-kali juga Aku akan menghentikannya.

Malam Jumat [3] Paku PuntianakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang