"Bara Langit!"
Hempasan angin berapi, dengan cepat merubah wujudnya menjadi pusaran angin cepat yang mendorong tubuh sesosok bayangan hitam menjauh dari Sigit.
"Menjauh dari anak itu!"
Kugunakan sisa aura di dalam Paku Puntianak untuk menciptakan sebuah Bara Langit yang mendorong tubuhku dari sebuah gedung lantai tiga menuju dinding. Sosok bayangan itu perlahan menampakkan wujudnya. Sepasang mata merah mengerikan muncul menatapku dengan tajam, sementara itu seringai berhiaskan deretan gigi tajam seolah ingin menyapaku.
Aura hitam pekat terlihat begitu jelas, bahkan tanpa kugunakan mata ghaibku. Entah makhluk apa yang kini berdiri di hadapanku, Ia terlihat seperti Puntianak seperti Aya dan Widia. Hanya saja lebih mengerikan dari mereka.
Kulit mahluk itu lebih kelabu daripada Widia maupun Aya, selain itu entah mengapa Aku merasakan firasat yang aneh pada makhluk itu. Di tangannya kini tergenggam Paku Puntianak Kencana Kemuning yang seharusnya sangat berbahaya jika disentuh oleh demit Puntianak sepertinya.
"Heeeh, akhirnya datang juga. Anak manusia yang menarik."
Paku Puntianak yang tergenggam itu diangkatnya, lalu entah bagaimana Ia tusukkan ke dalam dadanya sendiri. Puntianak itu terlihat kesakitan, tapi tiba-tiba sebuah senyuman mengerikan muncul di wajahnya.
"Lintang... Kencana!"
Rambut kelabu Puntianak itu bersinar, seolah menyerap energi aura di sekitar tubuhnya, Widia yang masih terluka dan Baskara disampingnya hanya bisa terperangah melihatnya. Makhluk itu bersiap untuk menyerangku, tapi bukankah serangan itu tak mempan pada manusia?
Semburan cahaya, keluar dari kerongkongan makhluk itu lalu menghantam tubuhku bagaikan sinar matahari yang begitu terik. Rasanya menyilaukan, dan Aku nyaris buta dibuatnya. Kumulai membisasakan diriku dengan cahaya menyakitkan itu, dan saat itulah sebuah kuku kehitaman terlihat keluar dari dadaku.
"Mati kau, bocah!"
Paku Puntianak Wesi Abang direnggut dariku dengan mudahnya, sekuat tenaga kugunakan tanganku untuk mengambilnya kembali. Tapi kulihat sosok Paku yang mengikatkan takdirku dengan Aya perlahan mulai menjauh.
Saat itulah kusadari, Aku telah terjatuh dari dinding setinggi lima belas meter itu.
"BRAKK!!!"
Suara tulang punggung yang beradu dengan reruntuhan terdengar begitu keras, seperti sebuah tepukan tangan raksasa diikuti suara dahan patah berkali-kali. Mataku berkunang-kunang, rasa sakit menjalar di sekujur tubuhku dan seketika Aku merasa lumpuh. Kulihat langit gelap di atas kepalaku, senja telah benar-benar menghilang dan kini malam menjelang.
Inikah akhir dari semuanya?
.......................................................................................................................................................................................
Sang Waktu.
Ia yang berputar, menyertai segala makhluk, dan juga semesta ini. Ia berdetak di jantung semua makhluk, berputar menyertai atom, dan juga tumbuh bersama dengan semesta ini.
Seandainya Sang Waktu memiliki wujud, akankah Ia mengabulkan keinginanku untuk memutar masa laluku?
Gadis kecil itu berbisik pada langit malam di hadapannya, dengan perlahan Ia gerakkan tangannya menyentuh kaca jendela di hadapannya dengan lembut seakan sedang menyentuh sebuah Kristal rapuh yang nyaris pecah.
Gerakan tangannya terasa sedikit kaku karena sudah lama Ia tak keluar dari Cupumanik yang telah mengurungnya, sesuatu dirasakannya begitu Ia keluar dari cangkangnya. Seakan sesuatu yang buruk telah terjadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Malam Jumat [3] Paku Puntianak
ParanormalBuku Ketiga Dari Seri Malam Jumat Setelah berhasil mengalahkan Chandra dan mendapatkan Aya kembali ke sisinya Aji dihadapkan dengan pengguna Paku Puntianak lainnya, dan juga sebuah organisasi bernama Gagak Hitam. Bagaimana nasib Aji dan Aya se...