04 - Pengakuan Aji

766 48 27
                                    

Kakek Slamet pergi begitu saja, tanpa kalimat perpisahan atau sekedar basa-basi. Ia meninggalkanku bersama Ajeng yang menatapku dengan tatapan bingung.

Ajeng adalah satu-satunya keluargaku yang bisa kupercaya saat ini, dan lebih baik Ia tahu semua ini daripada tidak.

"Ajeng, karena sebentar lagi malam, bagaimana kalau kita cari makan sekalian? Kita bawakan buat orang rumah juga.

Meskipun makan serabi dua bungkus, tapi kalau tidak makan nasi rasanya tidak kenyang bukan?"

Kucoba tersenyum untuk membuat Ajeng merasa nyaman, kugandeng tangannya menuju rumah makan terdekat untuk makan malam bersama.

Rumah makan tempat kami makan menggunakan bambu untuk menghias semua perabot dan hiasan yang ada di dalam rumah makan itu. Berada di tempat ini mengingatkanku pada Rumah Chandra di Karang Bulan. Bedanya tempat ini memiliki lampu cerah dan tidak remang-remang seperti rumah lelaki brengsek itu.

"Kau mau pesan apa Ajeng?"

"Apa saja boleh kan Kakak? Kalau begitu Aku ingin memesan Jus Alpukat, untuk makannya Aku steak saja tidak apa-apa."

"Memang kalau hanya steak kamu bisa kenyang?"

"Tidak apa-apa, Aku mau memberi sedikit ruang untuk nanti makan malam dirumah, soalnya sebenarnya Lia dan Aya tadi sudah berniat untuk memasakkanku masakan spesial."

Kenapa Ajeng tidak bilang dari tadi, selain itu kenapa juga Aya dan Lia tidak memberitahukanku kalau mereka mau memasak? Seandainya saja mereka memberitahukanku maka keuanganku hari ini pasti bisa terselamatkan.

Kenapa juga Aku mengajak Ajeng ke rumah makan seperti ini hanya untuk menceritakan rahasiaku? Tempat ini memang dibuat agar antara satu meja dengan meja yang lainnya tidak bisa saling menguping, tapi kalau seperti ini keuanganku bisa-bisa berada dalam masalah.

"Ada apa Kakak?"

"Ahh tidak ada apa-apa, tapi kamu tidak takut gemuk? Hari ini kamu sudah makan berapa kali?"
"Ihh Kakak apaan sih, Aku makan sedikit kok!"

Wajah Ajeng berubah menjadi cemberut, gawat Aku sudah mengacaukan suasana hatinya. Pelayan tiba-tiba datang membawakan kami minuman, wajah Ajeng kembali cerah melihat jus alpukat dengan sedotan lucu berwarna hijau. Sementara Aku hanya terdiam melihat jus jambu biji yang terhidang dengan menggoda di hadapanku.

Kenapa ya Aku merasa kalau Ajeng dan Aya benar-benar mirip soal makanan. Meskipun tubuh mereka kurus, tapi nafsu makan mereka mengerikan.

Sementara Ajeng menikmati makanannya, pandanganku berkeliling mengamati setiap sudut rumah makan.

Hiasan bambu, rotan, dan juga ornamen kayu menghiasi seluruh restoran. Suasana restoran tak begitu ramai, tapi juga tak begitu sepi. Kebanyakan yang makan disini adalah pasangan muda, dengan ekonomi menengah kebawah.

Pelayan-pelayan disini juga ramah, tapi mereka tidak terlalu sering melakukan interaksi dengan pelanggan, atau istilahnya adalah mereka tidak terlalu banyak basa-basi.

"Ngomong-ngomong Ajeng, sebenarnya ada yang ingin kuceritakan kepadamu."

Ajeng berhenti menyedot cairan gelas, dan mulai fokus melihatku. Sepasang mata cokelatnya terlihat berkilauan di bawah cahaya lampu, dan anehnya kedua mata cokelat itu sedikit memiliki kemiripan dengan mataku.

Jarak umur antara Aku dan Ajeng adalah dua tahun, yang berarti Ia sekarang duduk di bangku SMP kelas 3. Sebentar lagi Ia ujian, dan dengan teganya orang tuanya memintanya untuk membujuk Kakak tirinya agar mau pulang.

"Ada apa Kakak, jarang sekali tiba-tiba memulai bahasan serius seperti ini."

"Sebenarnya akhir-akhir ini Aku terlibat dalam sesuatu hal yang sedikit tidak biasa."

Malam Jumat [3] Paku PuntianakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang