24 - Kepergian Sang Veteran

603 51 10
                                    

Sebuah suara dentuman yang begitu keras, tak hanya sekali. Tapi berkali-kali.

Hanya Kakek Slamet dan Baskara saja yang tidak bereaksi, sementara itu wajah Gayatri terlihat paling pucat diantara kami.

"Sepertinya sudah dimulai..."

Kakek tua berpakaian hitam itu bangkit dari kursi bambunya, melangkah dengan santainya meninggalkan kami.

"Tunggu!"

Setengah berlari Gayatri mengejar bayangan Kakek Slamet yang nyaris menghilang ke dunia luar.

"Kakek... Berjanjilah untuk melindungi anak-anakku!"

"Tentu saja Gayatri, lagipula mereka juga sudah kuanggap sebagai cucu-cucuku sendiri."

Kakek tua itu memalingkan wajahnya sambil menyunggingkan senyuman kebapakan. Sebuah senyuman yang selama ini tak pernah Ia tunjukkan kepadaku.

"Maaf Gayatri, seenaknya menggunakan rumahmu sebagai benteng untuk menjebak Basuki dan anak buahnya."

Setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya Kakek Tua itu pergi meninggalkan kami dalam sebuah tanda tanya yang besar.

"Jadi, Adakah seseorang yang bisa menjelaskanku apa yang gerangan terjadi?"

Baskara tiba-tiba memecah kebisuan, Ia tatap Gayatri dengan tatapan dingin. Mencoba melampiaskan kekesalan, kebingungan dan perasaan frustasinya melalui tatapan matanya.

Melihat perlakuan Baskara, Gayatri hanya tersenyum. Puntianak yang wujudnya seperti wanita berumur itu berjalan kembali ke kursi bambunya.

"Baiklah anak-anak, meskipun waktunya tidak tepat, tapi sekarang saatnya bercerita."

Aku merasa risih dengan panggilan Gayatri kepada kami, hal itu mengingatkanku pada keluargaku. Dan Aku benar-benar membenci hal itu.

Rambut panjang Gayatri terlihat kusut tak terawat, tapi wajah anggunnya menutupi rambut kumal kelabunya. Sepasang matanya lembut penuh kasih sayang, seakan tidak akan habis cintanya diberikan kepada setiap anak manusia di dunia ini.

Kenapa Ibuku tidak bisa seperti dia?

"Aji Saputra, Aya Nathania, Widia Sugito, lalu, Baskara Sugito."

Mendengar nama belakangnya disebut, Baskara bagai ingin memukul wajah Gayatri. Tapi dia tetap terdiam dan berusaha mengendalikan amarahnya.

"Sekali lagi, Aku perkenalkan diriku. Namaku adalah Gayatri.

Seorang Puntianak Wewe Gombel, dan juga Ibu bagi ratusan anak yang tinggal di Omah Rondo ini.

Aku yakin Kakek Slamet sudah menyampaikan hal ini secara sekilas tapi, akan kujelaskan secara rinci apa yang terjadi."

Pertanyaan-pertanyaan dalam diriku yang ingin segera kukeluarkan tiba-tiba berhenti bergejolak, cerita Gayatri mungkin akan mengungkap nyaris semua pertanyaan dalam kepalaku.

Kalian pernah mendengar legenda Ratu Laut Selatan, tentang pertarungan Ratu Kidul dan Blorong?

Kuanggukkan kepalaku, tapi tidak dengan Baskara dan Widia. Aku mendengar kisah perseturuan dua kubu itu dari Lia, tapi sayang saat itu Baskara dan Widia tidak ada bersamaku.

Karena ada beberapa dari kalian yang belum mendengarkannya, maka Ibu akan menceritakan sekilas tentang kisah itu. Dahulu Dewi Sekarwatimara Sang Naga selatan beranakkan tiga orang dewi ular. Dewi Rara Kidul adalah dewi bagi ular naga hijau, Dewi Ningrum simbol dari ular sanca, dan Dewi Blorong ratu dari semua ular cobra.

Ketiga dewi itu memiliki sifat berbeda-beda, dan perbedaan sifat itu menciptakan perseteruan. Yakni Dewi Rara Kidul dan Dewi Blorong, sementara itu Dewi Ningrum menyembunyikan diri dalam sejarah.

Perseteruan itu menimbulkan peperangan yang terjadi puluhan tahun silam, dan peperangan itu dimenangkan oleh Dewi Rara Kidul. Akan tetapi beberapa tahun yang lalu ada sebuah organisasi bernama Perguruan Gagak Hitam yang berniat untuk mendirikan kerajaan untuk Dewi Blorong."

Penjelasan Gayatri tak jauh berbeda dengan penuturan Lia tentang sejarah Dewi Laut Selatan, akan tetapi ada banyak bagian dari cerita itu yang masih samar.

"Lalu kenapa Gagak Hitam ingin menyerang kami?"

Baskara kembali bertanya, cerita Gayatri memberinya sebuah alasan untuk bertarung.

"Hal itu karena Dewi Blorong menginginkan Paku Puntianak dan Puntianak yang sudah berhasil mendapatkan kontrak resmi dengan pemiliknya.

Untuk tujuannya, tidak ada yang tahu.

Tapi mengingat perang terakhir, pasti hal itu adalah sesuatu yang mengerikan."

Malam Jumat [3] Paku PuntianakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang