Kedatangan Ajeng yang tiba-tiba membuatku jadi meningkatkan kewaspadaanku, Aku tidak tahu apa yang akan ia lakukan untuk mengancamku agar mau pulang ke rumah. Karena itulah Aku berusaha untuk tetap membuatnya nyaman di tempatku atau ia pulang membawa berita mengerikan pada Ibuku.
Kubawakan tas koper Ajeng dan juga barang-barangnya ke kamar di lantai dua, di depanku Ajeng berjalan memimpin dengan langkah setengah berlari.
Sesampainya di kamar lamanya dalam hati Aku berharap agar Lia tidak melakukan hal-hal aneh pada kamar Ajeng, dan tidak termasuk meminjam pakaian lamanya.
"Wah, Aku tidak ingat pernah membersihkan kamarku sampai sebersih ini..."
Itu adalah kata-kata pertama Ajeng setelah ia tak memasuki kamarnya selama berbulan-bulan karena harus berada di asrama, atau pulang ke rumahnya.
Kuturunkan barangnya satu persatu dan menatanya di pojokan ruang, Aku sangat jarang memasuki kamar Ajeng, dan hal itulah yang membuatku tak menyadari perubahan apapun pada kamarnya.
"Meskipun tidak sebersih kamarku di rumah utama, tapi setidaknya kamarku sekarang lebih bersih daripada sebelumnya."
Ajeng berdiri di tengah kamar, sementar Aku dengan senang mendengarkan celotehannya. Sudah hampir tiga tahun Aku dan Ajeng menjadi saudara, meskipun kami jarang bertemu tapi setidaknya kami bisa memainkan peran masing-masing sebagai keluarga.
Selama tiga tahun ini Ajeng banyak berubah, Ia menjadi lebih dewasa. Tinggi tubuh dan panjang rambutnya juga bertambah. Asrama pasti membuatnya semakin mandiri, dan setidaknya hal itu bisa menyelamatkannya dari konflik di dalam keluarga kami.
"Ngomong-ngomong Kakak, kenapa Kakak mau repot-repot mengurus Lia dan Ayahnya yang terusir dari kampung?
Mereka cerita banyak lho tentang Kakak..."
Ajeng duduk di atas tempat tidurnya, tatapan matanya seolah memberikanku tanda agar Aku juga duduk bersamanya untuk menemaninya.
Warna kesukaan Ajeng tak pernah berubah, biru safir dengan garis hitam. Terlukis jelas di sprei tempat tidur dan tas sekolah yang Ia pakai, begitu juga pernak-pernik aksesori yang Ia kenakan.
"Mungkin Aku hanya kesepian, Gadis bernama Aya tadi juga. Karena rumahnya dari sekolah cukup jauh, Aku memberinya tempat untuk menginap sementara waktu sampai Ia menemukan tempat kos.
Aku cukup terbantu juga dengan adanya mereka, karena Lia dan juga Aya juga terkadang membantu membersihkan rumah dan memasak."
"Keluarga ya? Aku di asrama juga mendapatkan banyak sekali teman yang menyenangkan. Ada Aisha yang pintar merajut, Dona yang pintar bercerita, Ari yang suka bernyanyi. Kami semua satu kamar saling berbagi cerita banyak.
Terkadang saat itu Aku merasa kalau mereka adalah keluarga bagiku. Aku memang tak pernah menceritakan kondisi keluarga kita pada mereka, tapi terkadang ada rasa sakit di dada saat melihat orang tua sahabat-sahabatku datang sementara Aku hanya diantar oleh Pak Sanusi."
Ajeng menceritakan semua kisahnya dengan setengah menahan tangis, suaranya menjadi serak saat Ia menceritakan semua itu. Pada akhirnya Aku dan Ajeng hanya melarikan diri dari apa yang harus dihadapi, kami memiliki rasa sakit yang sama.
"Sudahlah Kakak, seharusnya kita tak membicarakan hal-hal seperti itu.
Saat Ayah dan Ibu ada kita tak bisa melakukan hal-hal menyenangkan bukan?"
Dengan punggung tangannya Ajeng menghapus sisa-sisa air mata di sudut matanya, lalu Ia menatapku sambil tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa.
"Maaf ya, Aku tak pernah bisa benar-benar menjadi Kakak untukmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Malam Jumat [3] Paku Puntianak
ParanormalBuku Ketiga Dari Seri Malam Jumat Setelah berhasil mengalahkan Chandra dan mendapatkan Aya kembali ke sisinya Aji dihadapkan dengan pengguna Paku Puntianak lainnya, dan juga sebuah organisasi bernama Gagak Hitam. Bagaimana nasib Aji dan Aya se...