21 - Reruntuhan Omah Rondo

611 50 7
                                    

Pagi beku berkabut.

Sinar mentari di ufuk timur tak kuasa menerjang kabut-kabut tebal di pagi itu. Aku menggigil, menghembuskan nafas beruapku, lalu menutup jendela mobil.

Baskara menyetir disampingku, Aya dan Widia di belakang kami, dan Kakek Slamet duduk si kursi paling belakang mengawasi.
Kami kembali ke titik semula, tempat proyek rusun pemerintah yang ditinggalkan.

Saat kugunakan mata Ghaibku, apa yang terlihat di depan mataku adalah kabut ungu yang telah menyelimuti sekeliling dinding tempat itu.

Entah bagaimana Wewe Gombel itu melakukannya, tapi sepertinya Ia berhasil memperkuat pertahanannya.
Aji, kabutnya
Aya berbisik di belakang punggungku, merasa khawatir dengan kabut yang mungkin akan membuat kami kehilangan tenaga banyak hanya untuk menghapusnya.

Baskara dan Aku turun terlebih dahulu, lalu Aya dan Widia, dan terakhir tentu saja Kakek Slamet. Baskara mencoba menjauhi Kakek Slamet untuk sementara waktu, Ia mungkin sekarang berpikir untuk tidak berbuat macam-macam dengannya untuk sementara waktu.

Kulihat Baskara mencoba mendekati gerbang besi yang sudah diperbaiki, aku segera menghentikannya dan mengatakan bahwa kabut ungu telah kembali. Sekarang hamper pukul delapan, matahari mulai meninggi, akan tetapi kabut disekeliling kami tak jua mau pergi.

Menggunakan cara semacam ini untuk menyembunyikan keberadaan mereka.
Benar-benar tidak berpengalaman.

Kakek Slamet tiba-tiba berjalan mendahului kami, menyingsingkan lengan bajunya lalu mulai merapal mantera.

Resik raga iki, resik donya iki!

Dengan satu sapuan tangan, kabut-kabut itu menghilang. Aku dan Baskara terdiam. Bukan karena hilangnya kabut itu, akan tetapi menyadari bahaya akan sosok di hadapan kami berdua. Kakek Slamet berada di pihak netral, akan tetapi bukan tidak mungkin Ia akan memihak musuh, terlebih lagi mengingat tentang apa yang sudah aku lakukan pada Agnia.

Dengan dipimpin Kakek Slamet, kami memasuki reruntuhan proyek, melihat dengan mata kepala kami sendiri bagaimana rupa dari dinding-dinding beton yang membentuk lorong-lorong dan jalanan yang terbuat dari batu dan tanah.

Beberapa rangka besi bangunan terlihat mencuat dan mengarat, seolah ingin menyampaikan usia dari tempat ini.

Setelah masuk ke dalam tempat ini, kabut dari luar berangsur-angsur mulai berkurang, dan sinar matahari mulai masuk walau awan tetap menggantung di langit tanpa mau untuk sekedar beranjak dari tempatnya.

Udara tiba-tiba serasa bergerak secara mendadak, sekelebat bayangan hitam bergerak dari atas atap-atap gedung, dan tanpa kami menyadarinya bayangan itu melompat dan melancarkan serangan kea rah kami.

Saat kami menyadarinya, sesosok gadis kecil dengan beberapa lembar kain yang menutupi tubuhnya kini tertahan di udara dengan kaki kirinya yang tercengeram oleh tangan renta Kakek Slamet. Ekspresi wajahnya sama terkejutnya dengan kami, tendangan cepat yang bahkan tak kami sadari bisa ditangkap semudah itu oleh Kakek Slamet.

"Pagi Upik, apakah begitu caramu member salam pada orang tua?"

"Cih, sial!"

Gadis kecil itu adalah Upik, gadis tuyul yang menyerang kami begitu kami tiba di tempat ini. Penampilan gadis itu masih sama seperti ketika kami pertamakali bertemu dengannya. Rambut panjang hitamnya dikuncir ke belakang, sepasang mata keunguan dengan tatapan tajam, selembar kain penutup dada, dan juga gulungan kain yang menutupi pinggang sampai pahanya.

"Antarkan kami pada Gayatri, ada hal yang ingin kusampaikan kepadanya!"

"Bunda sedang tidak menerima tamu!"

Kakek Slamet melepaskan kaki gadis tuyul itu, memberikannya ruang untuk kembali meloncat ke atas gedung.

"Apakah dia terlalu sibuk untuk bersembunyi dari Gagak Hitam?

Kalau memang iya, katakan pada ibumu aku datang untuk membantunya!"

Mendengar kata-kata Kakek Slamet, Upik langsung melompat menjauhi kami lalu menghilang.

"Kemana gadis tuyul itu pergi?"

Widia tiba-tiba bertanya,
"Omah Rondo...

Rumah bagi anak-anak terbuang..."

Kakek Slamet menjawab pertanyaan Widia sambil terus melangkah diatas alas kaki kayunya. Ia masuk semakin dalam ke reruntuhan, tempat dimana dinding-dinding rumah pondok dihancurkan demi pembangunan proyek.

Aku bersin, bau debu dan pengapnya tempat ini membuatku merasa ingin terus bersin. Jalanan tanah semakin menurun, masuk ke dalam reruntuhan dengan dinding beton di atas kepala dan peralatan konstruksi disekitar kami.

Sekelebat bayangan terlihar mengawasi diantara tiang-tiang beton berangka besi, semakin kami masuk bayangan-bayangan itu semakin banyak, sampai kemudian tanah tempat kami berpijak mulai menanjak.
Kami mulai keluar reruntuhan.
Baskara terlihat kelelahan, nafasnya tersengal-sengal. Ia mungkin kesulitan bernafas karena buruknya aliran udara di tempat ini. Tapi hal itu bukanlah masalah bagi demit seperti Aya dan Widia.

Samar-samar terlihat sesosok wanita dengan rambut acak-acakan di depan kami. Ia berdiri membelakangi cahaya matahari yang memasuki lorong.

"Selamat datang... Orang luar..."

Malam Jumat [3] Paku PuntianakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang