4 (bagian kedua)

1.4K 81 1
                                    


"Apa Rinna pernah menggunakan narkotika dengan cara disuntik sebelumnya? Atau Rinna pernah berhubungan dengan seorang pria? Atau apakah Rinna pernah memakai jarum suntik yang belum steril?" pertanyaan beruntun itu langsung Om Rifki layangkan kepadaku begitu kami berdua sampai di ruangannya.

"Nggak, Om, Rinna gak pernah melakukan itu semua," aku menatap Om Rifki dengan tatapan penuh kebingungan, "Memangnya ada apa, Om? Rinna baik-baik aja, 'kan?"

"Untungnya, Rinna hanya mengalami luka robek di tangannya dan di kakinya. Walaupun ada pendarahan, tapi semuanya bisa kami tangani. Awalnya, Om memasukan Rinna ke ruang operasi hanya untuk menjahit lukanya saja. Namun, setelah Om menge-check darahnya, ada satu fakta yang membuat Om terkejut," ucap Om Fikri sembari menatap kedua bola mataku dengan serius.

"Fakta apa, Om?"

Om Fikri menghembuskan nafasnya dengan lelah. "Rinna positif mengidap HIV. Dan kenyataan ini membuat tim medis menghentikan penjahitan luka Rinna, karna takut tertular. Tapi, karna Rinna adalah anak dari sahabat Om, Om rela melanjutkan menjahit luka Rinna walau tidak dibantu siapa-siapa."

"H ... HIV?" tanyaku dengan terkejut. Seluruh saraf yang ada di tubuhku seperti berhenti bekerja begitu Om Fikri memberitauku tentang fakta ini.

"Om sangat menyesal, Ta, dan Om turut prihatin atas keadaan kembaranmu. Ada satu lagi berita buruk, Ta. Kanker yang bersarang di tubuh Rinna sepertinya berkembang dengan cepat, dan sekarang sudah memasuki stadium 3. Om memperkirakan umur Rinna tidak lebih dari dua bulan, apalagi Rinna tidak mau di kemo."

Aku termangu di hadapan Om Fikri tanpa bisa berpikir apa-apa lagi. Semuanya kenyataan ini menikam hatiku dengan sangat keras. Seperti ada ribuan pisau yang menusuk hatiku tanpa ampun, tanpa henti, dan tanpa rasa kasihan sedikitpun.

"Ayah dan Bunda kamu sudah kamu hubungi?" tanya Om Fikri kepadaku dengan pelan.

Aku menggeleng. Boro-boro menghubungi mereka, menerima kenyataan ini saja aku tidak bisa! Bagaimana memberitau kedua orang tuaku tentang ini semua!?

"Biar Om yang menghubungi mereka, Om tau kamu gak sanggup untuk memberitau ini semua kepada orang tuamu," sahut Om Fikri dengan tenang.

Aku tidak bisa menolak tawaran Om Fikri, karna jujur saja, akupun tidak sanggup memberitau kedua orang tuaku tentang kejadian ini. Memegang ponsel saja aku tak kuat, bagaimana menelfon dan memberitau kedua orang tuaku tentang kejadian ini?

"Om ... gimana keadaan Hazel?" tanyaku setelah aku mengingat kalau Regan bukan hanya menemukan Rinna saja di TKP, tapi juga Hazel.

"Oh, cowok itu? Dia hanya pingsan dan mengalami luka robek di pelipisnya. Entah kenapa, kondisi Rinna lebih parah dari dia. Padahal dia yang menyetir, sedangkan Rinna hanya duduk di sampingnya sebagai penumpang."

Aku tertegun mendengarnya. Namun, karna aku tak mau berlama-lama di ruangan ini, akhirnya aku pamit setelah mengucapkan terima kasih kepada Om Fikri. Akupun menghampiri Regan yang sedang duduk sendirian di bangku tunggu ruang operasi.

"Gimana? Rinna baik-baik aja, 'kan?" tanya Regan begitu melihatku duduk di sebelahnya dengan mata sembab.

"Dua bulan itu sebentar, ya, Gan?" tanyaku melantur sambil menatap dinding putih di hadapanku dengan pandangan kosong.

"Lo ngomong apa sih, Ta?" tanya Regan sembari menatapku dengan pandangan tak mengerti.

Aku tak bisa menjawab pertanyaannya, dan kembali menangis menyesali semua yang telah terjadi. Aku tau tidak ada gunanya aku menangis dan merengek agar bisa memutar balikan waktu, tapi salahkah aku kalau aku berharap itu bisa terjadi? Sekali ini saja, izinkan aku untuk berharap agar itu bisa terjadi.

"Ta, udah dong nangisnya," ucap Regan. Dia kembali mengelus permukaan tanganku, berusaha memberi ketenangan.

"Kankernya naik jadi stadium 3, dan sekarang dia mengidap HIV. Ayah lo memperkirakan kalau umurnya gak lebih dari dua bulan. Apa gue mati aja, Gan? Biar nanti Rinna ada temennya di surga?" ucapku melantur sambil menatap Regan dengan pandangan lelah dicampur kecewa.

"Ta ..." Regan hanya menatapku dengan terkejut tanpa bisa membalas ucapanku tadi.

Aku tertawa sinis. "Kembaran macam apa gue, Gan? Gue bahkan gak bisa jaga Rinna dengan baik dan membiarkan dia berkeliaran dengan Hazel."

"Ta, lo gak bisa menyalahkan diri lo sendiri atas kejadian ini. Ini semua udah takdir, kita gak bisa ngapa-ngapain lagi kalau takdir udah berbicara," balasnya dengan suara yang lembut namun kontradiktif.

Seperdetik sebelum aku membalas ucapan Regan, ruangan operasi terbuka dan menunjukan kasur tempat Rinna berbaring yang sedang didorong oleh beberapa perawat.

"Mau dibawa ke mana pasiennya, Sus?" tanyaku kepada salah satu suster yang mendorong kasur Rinna keluar dari ruangan operasi.

"Pasien di bawa ke ruang perawatan, anda bisa ikut kalau ingin tau ruangannya di mana," balas Suster itu.

Aku mengangguk dan mengikuti ke mana kasur Rinna di bawa, dan Regan juga setia mengikuti dari belakang. Setelah kasur Rinna dimasukan ke ruangan VVIP, para perawat langsung keluar dan memperbolehkan aku dan Regan masuk.

"Sebelumnya, karna pasien mengidap penyakit HIV, anda harus memastikan untuk mensterilkan diri dengan cara melapisi baju anda dengan baju hijau yang ada di sebelah pintu masuk," ucap seorang Suster begitu melihat aku dan Regan mau menghampiri ruangan Rinna.

Aku hanya mengangguk dan langsung melapisi bajuku sesuai dengan perintah suster tadi, tak lupa aku memakai masker di wajahku –karna ini adalah peraturan rumah sakit. Sedikit berlebihan, kurasa. Karna aku bahkan tidak peduli jika aku ikut tertular HIV karna Rinna- aku dan Regan berjalan menuju Rinna yang terkapar tak berdaya di atas kasur, dan langkahku terhenti tepat di sebelah kasurnya.

"Lo bilang, lo bisa jaga diri lo dengan baik, Rin. Nyatanya apa? Stadium kanker lo naik, dan sekarang lo malah dapet penyakit baru. Apa gue masih dilarang untuk khawatir sama keadaan lo?" ucapku begitu aku melihat wajah Rinna yang sedang tertidur dengan nyenyak.

"Jawab gue, Rin, jangan tidur melulu," rintihku seiring dengan air mataku yang kembali mengalir.

"Semua ini salah gue, Rin. Maafin gue," ucapku sembari menggenggam lengan Rinna yang sudah ditancapkan infus dan berbagai selang lain yang aku tak tau fungsinya untuk apa.

Regan hanya merangkulku dalam diam, dia sangat mengerti keadaanku yang tak mau diganggu dengan celotehan tak berguna dan pertanyaan yang tak bisa ku jawab. Yang aku butuhkan saat ini adalah obat untuk menyembuhkan Rinna, hanya itu! Namun, aku juga tidak bodoh. Aku tau kalau HIV belum ada obatnya sampai sekarang, tapi salahkah kalau aku berharap?

Ponselku yang ada di dalam saku celana tidurku bergetar, menunjukan ada pesan masuk. Aku langsung membukanya begitu tau itu dari Bunda.

From: Bunda

Bunda sama Ayah flight back ke Jakarta besok karna pesawat hari ini penuh semua.

Aku memejamkan mataku dengan lemah. Ini adalah permintaan mustahilku yang terakhir, bisakah tidak ada hari esok?


180°Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang