Aku sedang bermalas-malasan di kamar dengan earphone yang tersumpal di kedua telingaku. Hari ini murid-murid sekolahku diliburkan karna guru-guru mengadakan rapat akbar, jadilah aku baru terbangun jam sembilan pagi tanpa berniat untuk beranjak dari tempat tidurku.
Tiba-tiba saja lagu yang sedang diputar di ponselku terhenti, digantikan dengan dering yang biasa aku dengar kalau ada panggilan masuk. Aku langsung terkejut begitu mendapati nama Hazel yang tertera di sana, dan langsung saja aku mengangkatnya pada dering pertama.
"Halo?"
"Rin, aku lagi di jalan menuju rumah kamu. Kita jalan-jalan hari ini, oke? Ketemu di tempat biasa, ya?" ucapan Hazel itu kontan saja membuatku mati kutu.
Jalan-jalan? Tempat biasa? Haduh, mana aku tau 'tempat biasa' itu di mana?!
"Kok mendadak banget sih, Zel? Jangan di tempat biasa deh, gimana kalau di rumah aku aja?" balasku sembari menggigit bibir bawah dengan gugup.
Semoga dia tidak curiga.
Semoga.
Semoga.
"Gak tau, pengen aja ngajak kamu jalan dengan mendadak biar gak dapet penolakan. Yaudah, ketemu di rumah kamu. Sepuluh menit lagi aku sampe," balasan dari Hazel langsung membuat tubuhku berdiri dari kasur.
Astaga, sepuluh menit? Yang benar saja! Aku bahkan belum cuci muka, belum gosok gigi, belum mandi, belum memilih baju, belum–
"Rin? Kok diem?" celetukan Hazel itu membuatku tersadar kembali dari lamunanku.
Aku mengangguk dengan cepat. "Iya, aku siap-siap dulu, oke?"
Aku langsung memutuskan sambungan dan bergegas menuju kamar mandi. Setelah selesai membersihkan diri dengan kecepatan maksimal, aku membongkar lemari baju Rinna dan mulai menimbang-nimbang ingin memakai apa.
Aku mengeluarkan satu sweater berwarna pink dan rok hitam yang jatuh sejengkal di atas dengkul. Aku memperhatikan penampilanku di kaca, dan aku menggeleng pelan. Ini terlalu feminin, dan aku tidak nyaman jika memakai rok. Bagaimana kalau nanti Hazel menjemputku dengan motor? Oh tidak, aku tidak bisa membayangkannya!
Aku kembali mengganti bajuku karna aku merasa tidak cocok dengan baju itu. Kali ini aku memilih kemeja kotak-kotak dengan skinny jeans. Aku kembali mengaca, dan untuk kedua kalinya aku menggelengkan kepalaku lagi. Celana ini terlalu ketat, aku tidak suka!
Aku mendesah frustasi dan kembali mengacak-acak lemari Rinna. Akhirnya aku menemukan satu sweater berwarna putih dan short pants berwarna hitam. Aku kembali mengaca, dan akhirnya aku menganggukan kepalaku. Walaupun pahaku terekspos, setidaknya aku tidak menghilangkan kesan Rinna di sini.
Aku beralih ke peralatan makeup yang Rinna punya. Setelah berdoa dalam hati agar aku tidak terlihat seperti lenong nyasar, akupun memoleskan bedak tipis di wajahku. Lalu mataku beralih ke deretan lipstick yang Rinna punya. Ada warna pink muda, pink tua, coklat muda, peach, nude, sampai merah terang.
Astaga, kenapa Rinna mempunyai banyak sekali koleksi lipstick seperti ini?! Lipgloss atau liptint saja aku tidak punya! Aku benar-benar gagal menjadi seorang cewek, sepertinya.
Setelah berpikir sebentar, akhirnya pilihanku jatuh kepada lipstick berwarna pink muda yang memberi kesan natural kepada bibirku. Setelah berkaca sebentar, akupun tersenyum puas. Setidaknya kemampuan bermakeupku tidak buruk-buruk amat.
Akupun beralih ke lemari tas yang Rinna punya, dan berdecih kesal. "Ini lemari dijadiin museum aja sekalian, banyak banget tasnya astaga!"
Setelah berfikir selama lima menit, pilihanku jatuh kepada tas selempang berwarna biru yang terkesan sederhana; tas tersederhana yang aku temukan di lemari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
180°
Teen FictionErinna Calla Janeeta dan Erlinda Kineta Tasanee adalah anak kembar yang sangat identik. Orang-orang bahkan tidak bisa membedakan mana Rinna atau mana Neta saat mereka bersama. Walaupun wajahnya mirip, mereka memiliki banyak perbedaan. Neta suka men...