6

1.4K 83 1
                                    

Aku dan Bunda langsung berlari menuju ruangan di mana Rinna di rawat. Ayah tadi menelfon Bunda, memberitau kalau Rinna sudah siuman. Setelah sampai di ruangan Rinna, aku dan Bunda langsung melapisi baju kami dengan baju steril dan masuk tanpa menutup wajah kami dengan masker.

Aku tersenyum lega begitu melihat Rinna sedang duduk bersandar di atas ranjang pasiennya. Dia menatapku dengan senyum tipis, dan aku langsung berlari untuk memeluknya. Aku memeluknya dengan erat, diiringi dengan tangisanku yang tumpah karna sudah tidak bisa aku bendung lagi.

"Tau gak kalau gue khawatir setengah mati, hm? Tau gak?" tanyaku dengan kesal sembari mengeratkan pelukanku.

Dapat kurasakan Rinna tersenyum sembari memelukku tak kalah eratnya. "Iya, tau. Maafin gue ya, Ta. Gue selalu buat lo khawatir."

Aku melepaskan pelukanku dan menghapus air mataku dengan gusar. Tak berselang lama, Ayah Regan datang dengan kursi roda di tangannya.

"Ki, anak gue mau di bawa ke mana?" tanya Ayah kepada sahabatnya itu.

"Mau gue tes urinenya. Makanya gue bantu dia pake kursi roda biar dia bisa ke toilet. Udah, lo tenang aja. Tinggal terima beres," balas Om Rifki sembari membantu Rinna untuk duduk di kursi rodanya.

"Kenapa–" ucapan Ayahku terhenti saat melihat ekspresi Om Rifki yang seakan mengatakan 'ini tentang virus HIV. Udah, lo diem aja.' lalu Ayahku mengangguk mengangguk mengerti setelah mendapat isyarat dari Om Rifki, "Oh, oke, Ki."

Om Rifki akhirnya pergi sembari mendorong kursi Rinna ke toilet yang ada di ruangan ini, agar Rinna bisa mengeluarkan urinenya untuk dicheck. Setelah Rinna masuk ke dalam toilet, Om Rifki langsung menghampiri Ayahku dan menepuk pundaknya dua kali.

"Sabar, bro. Semua pasti baik-baik aja. Gue akan berusaha supaya anak lo tetep hidup, oke?" ucap Om Rifki meyakinkan Ayahku yang sedang menatap kosong ranjang Rinna yang berada tepat di hadapannya.

Ayahku mengangguk sembari memaksakan satu senyuman. "Thanks, bro. gue sangat berterimakasih sama lo."

Tak berselang lama, Rinna keluar dengan botol kecil yang tadi Om Rifki beri kepadanya untuk menampung urinenya di situ. Setelah mendapatkan urine Rinna, Om Rifki pergi untuk memperiksa urine itu.

"Kenapa urine aku dicheck, Yah?" tanya Rinna. Entah mengapa, aku melihat ekspresi khawatir di wajahnya walaupun hanya satu detik dan Rinna kembali mengcover wajahnya dengan tatapan penasaran.

"Mungkin masalah kedokteran, Ayah juga gak ngerti," ucap Ayahku dengan jawaban yang sangat ngaco itu.

"Kamu nggak kenapa-napa 'kan, Sayang? Gak ada yang sakit, 'kan?" ucap Bunda yang langsung mengalihkan pembicaraan.

Rinna tersenyum. "Aku nggak kenapa-napa kok, Nda."

Aku hanya terdiam sembari memainkan game yang ada di ponselku, membiarkan Ayah dan Bunda mengajak Rinna mengobrol.

Aku baru sadar kalau Regan belum menjelaskan apapun kepadaku tentang kejadian ini. Aku harus bertanya kepadanya saat dia ke sini jam tiga sore nanti. Aku melihat jam yang ada di ponselku, lalu menggerutu pelan setelah tau kalau Regan akan mampir ke rumah sakit ini lima jam lagi.

Setelah setengah jam menunggu, akhirnya Om Rifki kembali ke ruangan Rinna dan mengajak Ayah dan Bunda untuk pergi ke ruangannya. Aku hanya bisa mengangguk saat Bunda memintaku untuk menjaga Rinna sebentar. Setelah keduanya pergi, aku langsung menatap Rinna yang sedang duduk di kursi rodanya.

"Lo mau tanya apa?" tanyaku to the point karna dari tadi Rinna terlihat gelisah seakan ingin menanyakan sesuatu namun tak bisa.

"Hazel ... gimana keadaannya?" tanya Rinna hati-hati sembari menatapku dengan ragu.

Aku mendengus pelan. "Buat apa gue peduli sama nyawa orang itu?"

"Ta–"

"Gue gak akan termakan omongan lo lagi. Untuk kali ini, gue bener-bener gak bisa toleransi lagi sama perbuatan Hazel. Paham lo?" balasku dengan emosi yang mulai tersulut.

"Ta, please. Gue tau lo tau tentang keadaannya," pinta Rinna sembari menatapku dengan tatapan memohon.

"Siapa bilang? Gue gak pernah jenguk dia, tau dia dirawat di mana aja nggak."

"Ta, lo tau 'kan, ini semua–"'

"Bukan salah Hazel?" potongku cepat. Aku tertawa sinis seiring dengan emosiku yang mulai meletup-letup kala nama Hazel terdengar oleh kupingku, "Ini semua mutlak salah Hazel. Dan gue gak mau denger lo membela cowok sialan itu lagi, paham lo?!"

Rinna langsung menatapku dengan tatapan kesal. "Iya-iya, gue paham. Emosian banget lo!"

Tiba-tiba saja, kedua orang tuaku datang dengan tergesa-gesa. Ayah dengan pandangan marahnya, dan Bunda dengan tangisan kekecewaannya yang menggema di ruangan bercat putih ini.

"KAMU PAKAI NARKOBA?!" sahutan Ayahku itu langsung membuat mataku terbelalak menatap Rinna, dan yang aku tatap hanya bisa menundukan kepalanya dalam-dalam.

"Jawab Ayah kamu, Erinna Calla Janeeta!" bentak Bunda dengan kedua mata yang masih menumpahkan air mata.

"M ... ma ... maafin Rinna Nda, Yah, Ta," jawabnya terbata-bata.

"ERINNA CALLA JANEETA!" Ayahku langsung meneriakan namanya tanpa bisa melanjutkan kata-katanya. Kedua tangannya terkepal di samping tubuhnya, sampai-sampai buku-buku jarinya memutih.

"Rin ... elo ...?" aku masih tidak bisa percaya dengan pengakuan Rinna yang menghantam hatiku dengan telak.

"Pengaruh siapa ini? PENGARUH SIAPA, ERINNA?!" bentak Bundaku sembari menatap nyalang kedua mata Rinna yang menghindar dari tatapannya.

"Jangan bilang ..." aku langsung menutup mulutku dengan kedua tangan saat Rinna mengangguk, membenarkan perkiraanku tentang siapa orang yang membawa saudara kembarku ini terjerumus ke dalam lubang tak berujung.

"Hazel. Iya, 'kan? Pasti anak kurang ajar itu yang udah ngajarin kamu pake barang-barang terlarang kayak gini!" suara Ayahku meninggi seiring dengan emosinya yang meletup-letup, siap untuk ditumpahkan kepada Rinna.

"Semua ini bukan–"

"ERINNA CALLA JANEETA! STOP MEMBELA COWOK SIALAN ITU DI HADAPAN GUE!" bentakku dengan kesal, aku bahkan hampir berdiri untuk menghampiri Rinna dan menampar pipinya dengan kuat saking emosinya.

Rinna hanya bisa terdiam sembari mengatupkan mulutnya. Matanya menatap aku, Ayah dan Bunda dengan takut, dan air matanya keluar tanpa henti namun tidak ada suara isakan apapun. Dia menangis dalam diam, memendam lukanya sendirian, dalam-dalam.

"Apa kamu tau kondisi kamu sekarang kayak gimana?" tanya Bunda dengan geram, "Kamu positif mengidap HIV dan kanker kamu naik jadi stadium 3, tau?!"

"A ... apa?" ucap Rinna dengan terkejut.

"Menyesal kamu sekarang? Masih mau membela cowok sialan itu? Sekarang dua penyakit itu bersarang di tubuh kamu, dan kami bertiga sudah letih mengingatkanmu tentang bahayanya bergaul dengan Hazel!" ucap Ayahku sembari menatap Rinna dengan pandangan kecewa bercampur dengan amarah.

"Kalian semua gak akan ngerti, Rinna ngelakuin ini karna keluarga kita udah ngehancurin keluarga Hazel sampai titik terendah!" balas Rinna kalap.

"CUKUP RINNA, CUKUP! Ayah gak mau mendengar pembelaan apapun lagi dari kamu! Sekarang, kamu harus tinggal di sini sampai kamu sembuh. Dan Ayah gak tau kamu akan sembuh kapan, dokter saja tidak bisa mempastikan!" balas Ayahku dengan suara tegasnya.

Rinna hanya diam tanpa bisa membalas perkataan Ayah lagi. Aku tak tega melihatnya, namun akupun tak bisa membela. Rasa kesalku ini sudah menggunung dan tidak ada cara untuk bisa meredakannya.

Ayah menghampiri Rinna, dia menggendong Rinna untuk memindahkannya dari kursi roda menuju ranjang pasien. Setelah dibaringkan, Rinna langsung memunggungi kami dan menangis tanpa suara.

Aku, Ayah, dan Bunda akhirnya memutuskan untuk keluar setelah bergelut dengan emosi masing-masing. Keluar dari percakapan yang sangat berdarah ini, sampai-sampai percakapan ini membekas di hati semua orang yang tadi ada di ruangan Rinna.

Aku benci mengakui ini, tapi untuk pertama kalinya aku kecewa kepada kembaranku sendiri.

180°Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang