HAI! AKHIRNYA BISA UPDATE HUAAAAHHHH!!! Gila ini cerita makin sedikit yang baca dan makin sedikit yang vote #hiks, tapi gapapa gue masih semangat nulis kok! #hah #paansi
Sorry for the super duper late update! Dan maaf kalau part ini sedikit tidak jelas, tapi ada inti masalah kok yang gue sebar sedikit di sini. Kalau kalian teliti bacanya pasti tau masalah apa yang sebenernya terjadi di cerita ini!:3
Okey, happy reading!
Bau obat-obatan seketika memasuki indra penciumanku saat aku mulai menginjakan kaki di koridor ruangan tempat Rinna dirawat. Aku membenci keadaan ini, dimana hal yang bisa kulihat hanyalah koridor sepi dengan orang berjas putih berlalu-lalang mengunjungi pasiennya masing-masing. Di dalam ruangan yang ada tepat di hadapanku inilah, tubuh Rinna sedang terbaring lemah dengan beberapa dokter yang mencoba untuk menyelamatkannya.
Aku langsung menghampiri Bunda yang sedang terduduk lemah di kursi koridor dengan tatapan kosong. Aku duduk di sebelahnya, dan mulai merangkul Bundaku sembari memberi kalimat penyemangat agar Bunda tidak putus harapan.
Rinna pasti kembali.
Rinna pasti kembali.
Rinna pasti kembali.
Hanya kata-kata itulah yang bisa aku ucapkan dalam hati; berharap kata-kata itu benar terjadi dan berharap nyawa Rinna benar-benar terselamatkan. Tak lama kemudian, aku melihat dokter keluar dari ruangannya dan Bunda langsung menghampirinya.
"Gimana Rinna? Dia selamat 'kan, dok?" tanya Bundaku sembari menatap kedua bola mata dokter di hadapannya dengan tatapan penuh harap.
Dokter itu tersenyum. "Untuk saat ini Rinna masih bisa selamat, doakan saja agar dia cepat sadar dari komanya."
Pandangan mataku seketika berubah menjadi kosong, dan keseimbangan tubuhku hampir saja tidak bisa aku kendalikan jikalau tidak ada dinding di sampingku. Aku kembali duduk di kursi tunggu, sementara Bunda masuk ke ruangan Rinna dengan terburu-buru.
Aku enggan masuk ke sana karna aku tidak kuat melihat Rinna terbaring lemah dengan berbagai macam alat yang membantu nyawanya agar tetap di raga. Aku tidak kuat melihat kedua kelopak mata Rinna yang tertutup rapat, sehingga aku tidak bisa melihat kedua bola matanya.
Keadaan Rinna yang semakin parah ini membuatku ingin membunuh Hazel sekarang juga. Entah mengapa, dendam ini semakin menguasai hatiku. Semakin merusak jiwa dan otakku. Rasa benci yang membelengguku sudah mampu mengalahkan kenangan indah saat aku dan Hazel masih berteman.
Sudah tidak ada lagi sapaan hangatku kepadanya seperti waktu itu saat kami masih bersahabat. Sudah tidak ada lagi senyuman tulusku seperti waktu itu saat dia bertamu ke rumahku untuk modus ke Rinna.
Semuanya hilang, bagaikan ditelan bumi.
Yang ada di hatiku sekarang hanyalah rasa benci, dendam, dengki, dan rasa ingin mengakhiri nyawa seseorang. Hatiku seketika berubah menjadi beku kala aku mengingat Hazel, ataupun mendengar namanya. Aku benar-benar benci dan ingin membunuh Hazel, sepertinya.
Oh, yang benar saja! Mana mungkin aku tidak benci dengan Hazel? Dia itu yang membuat Rinna terbaring di rumah sakit!
Aku langsung mengerjapkan kedua mataku saat kurasakan ponselku bergetar di saku rok.
"Lo di mana? Gila, ngilangnya cepet banget. Bukannya udah janji hari ini pulang sama gue?" suara itu seketika membuat tangisku pecah. Entah mengapa air mataku baru terdobrak keluar saat aku mendengar suara Regan.
"Lah, kok malah nangis sih? Gue nanya tau, bukan ngasih kabar buruk!"
"Gan ... Rinna ... Ri ... Rinna ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
180°
Teen FictionErinna Calla Janeeta dan Erlinda Kineta Tasanee adalah anak kembar yang sangat identik. Orang-orang bahkan tidak bisa membedakan mana Rinna atau mana Neta saat mereka bersama. Walaupun wajahnya mirip, mereka memiliki banyak perbedaan. Neta suka men...