16

1.3K 73 2
                                    


"NETA! Muka lo kenapa?!" sahutan panik itu keluar dari mulut Rinna begitu aku menghampirinya di rumah sakit.

Aku mendengus kesal. "Semuanya gara-gara Hazel! Liat muka gue, merah semua! Kulit gue juga ngelupas gini! Dan dengan sangat terpaksa gue gak masuk sekolah! Tanggung jawab!!!"

"Lo makan seafood ya?" tanya Rinna sembari menyipitkan kedua matanya.

"Iya! Terpaksa, karna gue gak mau dia curiga!" balasku sembari memberenggut kesal.

Untung saja aku masih bisa menahan kesakitan selama di restoran, jadi Hazel tidak curiga kepadaku. Tapi, setelah aku sampai di rumah, aku langsung meminum obat alergiku dengan tangan gemetar. Lalu, aku tidak bisa tidur semalaman. Kulitku gatal dan memerah semua, ditambah lagi ada yang mengelupas dan tenggorokanku yang sangat sakit.

Aku benar-benar sekarat semalam, kurasa.

"Maaf ya, Ta, lo harus ngelakuin ini semua," ucap Rinna sembari menatapku dengan tatapan penyesalannya.

"Gue ngelakuin ini buat Ayah, bukan buat lo. Inget itu!" balasku dengan kesal.

Oh ayolah, Hazel memaksaku untuk menghabiskan udang sialan yang sudah dia pesan selama di restoran kemarin, dan aku hampir saja mati tadi malam. Apa salahnya kalau aku marah? Bahkan rasanya aku ingin mencakar-cakar wajah Hazel karna wajahku sekarang sudah dipenuhi oleh bercak merah.

Rinna tersenyum. "Iya gue tau."

Aku meraba leherku, dan seketika aku teringat dengan kalung pemberian Hazel kemarin. Akupun langsung melepas kalung itu dari leherku, dan memberikannya kepada Rinna dengan ekspresi datar.

"Nih, hadiah satu tahun katanya. Ambil, sebelum amarah gue makin menjadi-jadi."

"Bagus banget, astaga!" pekik Rinna kesenangan sembari menatap kalung ditangannya lekat-lekat.

"Lo seneng dapet kalung, gue? Liat muka gue! Ancur begini, merah semua!" rengekku kesal.

Rinna terkekeh sembari menatapku dengan pandangan mengejek. "Lagian, nekat!"

"APA KATA LO? KALAU GUE NGGAK–"

Perkataanku langsung terhenti begitu dering ponselku menginterupsi. Aku berdecak kesal, lalu langsung saja aku mengambil ponselku yang berada di atas meja dengan gusar.

"Apaansih?!"

"Buset, Ta, gue belum ngomong apa-apa lo udah marah aja!" suara itu langsung membuatku memutar kedua bola mata.

"Ngapain lo telfon gue? Gak belajar emang?"

"Salah ya, gue telfon pacar sendiri?" balasnya dengan nada suara yang dibuat seimut mungkin, membuatku berdecih geli.

"Salah karna lo telfon guenya sekarang!" balasku dengan kesal.

Astaga, apakah Regan se-tidak-peka itu sampai-sampai dia tidak tau moodku yang sedang tidak bisa diajak bercanda?!

"Ok, sebelum lo tutup, gue mau nanya. Lo di mana? Kok gak ada di kelas? Lo lagi ngapain? Lo sakit? Lo udah minum obat? Lo–"

"REGAN!" potongku cepat sembari memberenggut kesal, "Lo tuh rese kalau lagi khawatir, tau?

"Lo sakit apa? Jangan ngalihin pembicaraan!" balasnya dengan nada serius; khas seorang Regan jika dia benar-benar sudah khawatir dengan seseorang.

Aku tersenyum geli mendengar nada khawatirnya yang sangat jelas. "Apa gue baru aja bikin seorang Regan Kinarga takut?"

Kudengar Regan mendengus di sebrang sana. "Erlinda Kineta Tasanee, jawab pertanyaan gue. Bisa gak sih lo gak ngalihin pembicaraan? Iya, gue khawatir sama lo! Puas?!"

180°Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang