9

1.3K 65 3
                                    


Hari ini adalah hari pertama aku akan kembali bersekolah di sekolah normal. Tidak ada lagi Kak Resti dengan sejuta PRnya yang membuatku pusing tujuh keliling. Aku tersenyum senang melihat seragam SMAku kembali hadir di depan mata. Sebenarnya, ini bukan seragamku. Ini seragam Rinna yang mulai sekarang sampai lulus nanti akan kupakai.

Sesuai perintah Nara waktu itu, aku benar-benar mencat rambutku menjadi coklat. Hanya saja, aku tidak membleechingnya, jadi warnanya hanya terlihat kalau rambutku terkena sinar matahari. Aku tidak bisa membayangkan jika rambutku dibleeching, yang ada aku seperti orang aneh karna wajahku yang tidak cocok dengan warna rambut itu.

Seragam SMA Rinna terlihat normal dan cocok di tubuhku, hanya saja rok span yang terlalu ketat ini menyusahkan aku untuk bisa berjalan. Ditambah lagi belahan rok yang terlalu panjang yang bisa memamerkan betisku jika angin berhembus kencang.

Oh Tuhan, kenapa Rinna mengecilkan roknya seperti ini, sih? Untung saja kemejanya tidak dikecilkan. Kalau kemejanya ikutan dikecilkan, aku tidak bisa membayangkan bentuk tubuhku.

Aku memakai jepitan berwarna hitam untuk menjepit poniku yang kelewat panjang ini. Awalnya aku ingin menguncir rambutku, lalu aku kembali teringat omongan Nara yang berkata kalau rambut dikuncir itu bukan Rinna banget.

Setelah puas melihat penampilanku di kaca yang bukan aku banget, aku mengambil tas yang sering Rinna pakai untuk pergi ke sekolah. Tas itu berwarna pink terang dengan lambang merk terkenal tertera di tengah tas itu dengan besar. Oh yang benar saja, aku harus memakai tas pink cerah ini?!

Akupun menggendong tas berwarna cerah itu –dengan terpaksa- di punggungku, aku mengambil kaus berwarna biru tosca –kaus kaki kesayangan Rinna- yang panjangnya bahkan tidak mencapai mata kaki. Astaga, kaus kaki macam apa ini?!

Setelah merapal doa dalam hati agar aku tidak kena hukuman saat sampai di sekolah nanti, aku turun ke bawah untuk menyapa Ayah dan Bunda yang sedang sarapan di meja makan. Mereka yang melihat penampilanku langsung ternganga. Oh tentu saja, penampilanku sekarang tidak ada unsur Netanya sama sekali, malah justru unsur Rinnalah yang mendominasi.

"Ini Neta atau Rinna? Bunda jadi gak bisa bedain," celetuk Bunda sembari melirikku penuh makna.

"Ini Neta yang berpenampilan seperti Rinna. Nda, sebenernya apa sih masalah keluarga Hazel sama keluarga kita sampe aku harus berpura-pura jadi Rinna kayak gini?" tanyaku yang masih belum tau apa alasan dibalik semua ini.

Bunda tersenyum, tak berselang lama dia mengalihkan bola matanya dari wajahku. "Nanti juga kamu tau, Ta. Udah, dimakan dulu rotinya. Kamu berangkat sama Nara, 'kan?"

"Iya aku berangkat sama Nara, Bunda sama Ayah duluan aja."

Dapat kulihat kalau Ayah langsung berdiri dari kursinya, dan mengambil jas yang tersampir di sandaran kursi. Ayah melihatku sebentar, sebelum akhirnya kalimat yang sangat membuatku penasaran itu meluncur dari mulut Ayah. "Maafin Ayah, Ta. Karna Ayah kamu harus berkorban lagi."

Setelah berkata seperti itu, Ayah dan Bunda langsung pergi dan meninggalkanku dalam kesunyian dan rasa penasaran yang membuncah keluar. Ponsel yang berada di sebelahku bergetar, membuat lamunan dan konsentrasiku seketika pecah. Aku langsung mengangkatnya setelah tau itu dari Nara.

"Ta, gue udah di depan rumah lo nih! Cepetan keluar!" belum sempat aku menyapa, Nara langsung menyerocos dengan cepat. Dan, belum sempat aku membalas, sambungan langsung diputus secara sepihak oleh Nara. Astaga, ini anak kenapa sih?!

"Mbak Rika, Neta pergi ya!" aku langsung beranjak dari kursi tanpa mempedulikan balasan Mbak Rika yang berteriak dari dapur.

Setelah aku keluar gerbang dan memasuki mobil Nara, langsung saja aku menjitak kepalanya dengan kesal. "Gunanya apa lo nelfon tanpa membiarkan gue ngomong? SMS 'kan bisa kalau kayak gitu caranya!"

180°Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang