5

1.4K 83 1
                                    

Aku terbangun dari tidurku saat mendengar suara orang berlalu-lalang di depanku. Warna putih yang awalnya buram akhirnya terlihat jelas setelah aku benar-benar sadar. Saat aku menengok ke kanan, aku mendapati Regan yang sedang tertidur sembari melipatkan kedua tangannya di depan dada. Aku juga baru menyadari kalau semalaman aku tertidur di bahu Regan. Aku tersenyum tipis melihat wajah tenang Regan yang sedang tertidur, dia pasti capek menemaniku semalaman.

Aku melirik ponselku yang ternyata semalaman aku genggam. Aku membuka lock screennya dan melihat jam yang tertera di sana. Jam delapan pagi. Berarti aku hanya tertidur sekitar empat jam saja. baru saja aku berniat untuk mencuci muka ku di toilet, ponselku bergetar menunjukan adanya panggilan masuk.

Bunda is calling

Aku langsung mengangkatnya pada dering pertama. "Ya, Nda?"

"Kamu di mana?" ucapnya dengan suara seperti orang sehabis menangis.

Aku menghela nafasku sambil mengucek kedua mata yang terasa berat untuk dibuka. "Di rumah sakit, Nda. Di depan ruangan Rinna."

"Oke, Bunda lagi di perjalanan menuju rumah sakit, jadi kamu tunggu saja di situ, ya?"

"Oke, Nda."

Sambungan diputus secara sepihak oleh Bunda, membuatku langsung bergegas menuju toilet untuk mencuci muka. Setelah selesai, aku masih melihat Regan yang terlelap di kursi tunggu yang berada tepat di depan ruangan Rinna. Untung saja sekarang lagi liburan semester ganjil, jadi Regan tidak perlu repot-repot datang ke sekolah.

"Woi, kebo, bangun!" ucapku sembari mengguncang bahu Regan dengan tak sabaran.

"Bentar, lima menit lagi, Ma," balas Regan yang aku yakin sedang melindur!

Aku langsung mendengus dan menabok pundaknya dengan keras agar dia bangun. "Gue bukan emak lo, Alot! Buruan bangun, ih, ini rumah sakit bukan kamar tidur lo!"

Seketika mata Regan terbuka walaupun hanya setengah, dan aku langsung menjitak kepalanya dengan kesal. "Cuci muka sana! Nyokap bokap gue mau dateng, masa penampilan lo kayak gini?"

Regan langsung membelalakan matanya setelah mendengar ucapanku. "Serius?! Oke, gue cuci muka dulu, ya. Malu kalau muka bantal gue ketauan sama camer."

Aku semakin yakin kalau dia benar-benar sedang melindur sekarang. "Ih, masih di alam mimpi ya, lo? Bangun cepet! Cuci muka sana!"

Regan hanya cengengesan dan dia langsung menuju toilet terdekat. Aku kembali menatap ruangan di hadapanku dengan tatapan nanar. HIV dan kanker liver stadium 3 adalah dua penyakit yang mematikan dan dua-duanya bersarang di tubuh Rinna. Tanpa aku sadari, satu bulir air mataku kembali turun. Aku benar-benar tidak kuat melihat Rinna semenderita ini.

Tiba-tiba saja aku melihat Ayah dan Bundaku yang sedang berlari menujuku dengan tak sabaran. Saat keduanya sampai di depanku, aku bisa melihat ada kilat amarah dan kecewa di balik iris bening kedua mata Ayahku. Dan seketika, tamparan keras mengenai pipi kananku sampai-sampai ada cetakan tangan berwarna merah di sana. Tangisanku kembali pecah saat rasa nyeri itu menjalar ke seluruh permukaan wajahku, ditambah teriakan Ayah yang membuat posisiku semakin terpojok.

"DASAR GAK BECUS KAMU, NETA! Kamu gak pernah becus menjaga kembaranmu! Lihat sekarang apa yang terjadi sama Rinna!? Ayah 'kan sudah bilang, jangan pernah izinkan Rinna berdekatan dengan Hazel lagi! Tapi apa yang Ayah dapat sekarang?!" teriakan penuh amarah yang dilontarkan Ayahku langsung menikam hatiku dengan keras, sampai-sampai aku tidak bisa bernafas saking sakitnya.

"Mas, sudah, Neta gak salah dalam peristiwa ini," Bunda langsung memelukku yang sedang menangis sembari memegang pipiku yang perih.

"Jangan berani kamu membela anak ini, Arina!" balas Ayahku yang sudah kalap dan berancang-ancang untuk kembali menamparku.

180°Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang