11

1.1K 58 0
                                    

Sudah lima menit aku dan Hazel terjebak dalam keheningan tanpa ada yang berniat bersuara. Aku hanya bisa diam sambil menunggunya membuka suara tentang alasannya membawaku ke sini.

"Apa bener, kamu bilang sama Neta kalau kamu gak mau ketemu aku lagi?" tanya Hazel, matanya menatapku dengan lekat, seolah ingin memastikan jawabanku nanti bohong atau jujur.

"Dan gue juga mohon sama lo, jaga hubungan gue sama Hazel ya, Ta? Jangan biarin hubungan gue sama dia hancur. Gue mohon, Ta. Sebelum gue meninggal nanti, gue hanya mau ngeliat senyum Hazel."

Perkataan Rinna langsung mampir ke otakku saat aku hampir membenarkan perkataan Hazel itu. Aku memejamkan mataku, meremas rokku dengan keras sampai-sampai tanganku berkeringat dan buku-buku jariku memutih. Tidak, aku tidak bisa membuat Rinna kecewa. Tapi ... aku juga tidak bisa membuat Rinna mempertahankan hubungannya dengan Hazel. Astaga, aku harus bagaimana sekarang?

"Rin?"

Aku menatap Hazel, lalu menggeleng perlahan. Biarlah aku terlihat bodoh karna plin-plan begini.

"Aku udah duga kalau ini semua akal-akalan Neta doang," Hazel tersenyum sumbang, dia membuang pandangannya dari mataku.

"Aku minta maaf kemarin nyuntikin kamu sama obat-obatan itu," Hazel kembali bersuara setelah aku tidak menjawab perkataannya tadi, "Waktu itu aku lagi sakaw, dan kamu malah nahan obat-obatan itu dari aku. Maafin aku, Rin. Aku harap kamu gak akan kecanduan kayak aku."

Aku hanya diam sembari mendengarkan penjelasan Hazel. Semilir angin yang menerpa wajahku membuat anak-anak rambutku menari-nari, menggelitik pipiku yang sudah sedingin es ini. Fakta yang dilontarkan Hazel itu membuat sekujur tubuhku membeku. Jadi, selama ini Rinna mencegahnya untuk memakai obat-obatan lagi? Dan, saat mencegah, dia malah menyuntikan Rinna barang terlarang itu? Astaga, aku benar-benar sudah salah paham dengan kembaranku sendiri.

"Rin? Ngomong dong, jangan diem begitu."

"Aku mau kamu berhenti memakai barang-barang terlarang itu," ucapku sambil menatap kedua matanya dengan serius.

"Rin ..."

"Berhenti, Hazel. Kamu tau itu nggak baik untuk kamu, 'kan?" aku langsung memotong ucapannya tanpa peduli apa yang sebenarnya ingin dia bicarakan.

Oh, bagus, sekarang aku sudah bisa mengobrol dengan Hazel pakai aku-kamu tanpa rasa canggung. Kemajuan yang besar, bukan?

Hazel mengangguk, menyetujui permintaanku. "Bakal aku usahain, Rin. Untuk kamu."

Aku hanya bisa tersenyum tipis, lalu aku langsung meninggalkan Hazel di taman belakang sekolah sendirian. Aku sudah tidak bisa berpura-pura baik lagi di hadapannya. Kesabaranku sudah terkuras habis.

Aku telah menyelamatkan hubungan Rinna dan Hazel, dan aku tidak tau harus senang atau sedih akan hal ini.

Satu tetes air mataku langsung mengalir tanpa bisa aku cegah. Satu tetes air mata yang berbicara tentang emosiku karna mulutku sudah terlalu letih untuk marah dengan keadaan. Aku langsung menghapusnya sebelum orang lain melihat air mataku itu. Berpura-pura tegar disaat hati sudah letih seperti ini memang berat, ya?

Saat aku sampai di kantin, aku melihat Regan sedang melihatku. Tatapannya seolah bertanya ada apa denganku, namun aku hanya bisa menggeleng dan berjalan menuju meja teman-temanku.

Aku berusaha tidak mempedulikan Regan selama di sekolah agar tidak ada yang curiga, namun semua sia-sia. Mataku seakan enggan berpaling dari Regan, dan fokusku juga hanya untuknya. Aku langsung menggelengkan kepalaku dengan cepat, kalau begini terus, Hazel bisa tau. Dan hubungan Rinna dan Hazel akan hancur karna aku. Oh, tidak, aku tidak mau itu terjadi.

Entah ini baik atau buruk, tapi mulai sekarang aku akan berusaha menjaga hubungan Rinna dengan Hazel. Aku tidak mau membuat Rinna sedih. Sudah cukup dia terpuruk karna dua penyakit yang mematikan itu, aku tidak bisa menambah bebannya lebih berat lagi.

*

"Sorry, Rin, kemarin-kemarin gue salah paham sama lo. Sekarang gue tau kenapa darah lo positif mengandung narkoba," ucapku sambil menatap Rinna yang sedang bersandar di kasur pasiennya.

Aku langsung menuju rumah sakit begitu bel pulang sekolah berbunyi. Aku sudah tidak kuat untuk memberitau Rinna akan semua yang telah terjadi. Rasanya mulut ini tidak mau berhenti sampai hasratku terpuaskan.

"Sekarang lo ngerti 'kan kenapa gue sakit hati banget pas lo tuduh waktu itu?" tanya Rinna sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

Aku terkekeh, lalu kembali menunjukan tatapan kesalku. "Tapi, temen-temen lo itu nyebelin juga, ya? Mereka ngomongin gue yang katanya gak cocok buat Regan. Katanya gue yang pendiem gak cocok sama Regan yang keren. Wah, kurang ajar banget, 'kan? Rasanya tadi gue pengen nonjok tu orang!"

Kontan, Rinna tertawa. "Lah, emang. Lo sama Regan itu bagai langit dan bumi!"

"Beda jauh, tapi saling melengkapi. Iya 'kan?" balasku sembari menjulurkan lidah, pertanda aku menang.

"Iya deh, apa kata lo. Makasih ya, Ta. Lo selalu mau berkorban untuk gue," ucap Rinna dengan senyuman tipis menghiasi wajahnya yang tirus.

"Awas kalau lo nggak sembuh, gue bunuh lo!"

Rinna hanya bisa tertawa sambil mengangguk-anggukan kepalanya, tanda kalau dia setuju.

"Tapi, Rin, gue bener-bener gak boleh nanya Hazel kenapa dia menjerumuskan lo sampe kayak gini? Gue juga berhak tau, Rin!" protesku sembari memberenggut kesal.

"Jangan! Soalnya dia udah pernah ceritain semuanya sama gue, dan gak lucu kalau lo nanya lagi tentang hal itu. Secara, lo 'kan lagi berperan jadi gue, pasti dia curiga kalau lo nanya."

"Terus kapan gue bakal tau tentang hal ini?"

"Nanti, lo bakal tau dari Ayah sama Bunda."

"Ya tapi, kapan?"

"Sabar, nanti juga lo tau."

Aku hanya bisa mendengus sambil menganggukkan kepalaku. Memangnya aku bisa apa lagi? Aku hanya bisa pasrah. Karna, kalau aku berbuat hal-hal gila, bisa-bisa identitasku terbongkar. Dan, kalau identitasku terbongkar, bagaimana Rinna nantinya? Dia harus jujur tentang penyakitnya dan hubungannya dengan Hazel pasti tidak akan berjalan mulus.

Hah, aku memang harus selalu berkorban, 'kan?


180°Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang