Sudah satu minggu Rinna berada di rumah sakit, dan dia masih belum mau membuka suaranya untuk berbincang kepadaku, Ayah, dan Bunda. Bahkan, dia tidak mau makan sekarang karna akulah yang bertugas menyuapinya hari ini, bukan suster.
"Rin, ayolah, lo gak bisa terus-terusan ngambek sama gue," sahutku sembari tetap mencoba memasukan sendok yang berisi bubur itu ke dalam mulut Rinna yang terus mengatup sejak tadi.
Rinna hanya diam, dia mengalihkan pandangannya ke segala arah asal bukan kedua mataku.
Aku menghela nafas dengan lelah. "Oke, fine. Gue akan melakukan semua yang lo minta."
Seketika, Rinna langsung menatapku dengan pandangan curiga. "Bener? Semua yang kayak 'semuanya'?"
Akhirnya, ini suara pertama yang kudengar keluar dari mulut Rinna setelah perdebatan kami minggu lalu bersama Ayah dan Bunda.
"Iya deh, semua. Jarang-jarang 'kan gue mau kayak gini?" jawabku sembari tersenyum.
"Lo kangen sekolah gak, Ta? Sekolah yang beber-bener sekolah, bukan home schooling!" ucap Rinna membuka pembicaraan, entah apa yang akan dia pinta kepadaku kali ini.
"Kangen lah, masa nggak?"
"Kalau lo kangen, lo pura-pura jadi gue ya, mulai semester depan? Soalnya, kata dokter 'kan gue harus terus dirawat di sini karna kedua penyakit gue," celetuknya sembari menatapku dengan tatapan memohon.
Ucapan Rinna itu kontan saja membuat tanganku berhenti untuk mengaduk-aduk bubur Rinna. "APA?! Ini permintaan macam apa sih?!"
"Kata lo, semua yang gue mau akan lo turutin, 'kan? Nah, ini yang gue mau, Ta. Anggep aja ini permintaan terakhir gue sama lo sebelum gue pergi."
"Rinna! Ngomong apaan sih, lo? Lo gak akan pergi kemana-mana dan ini bukan permintaan terakhir lo. Oke?" balasku sembari menatap kedua matanya dengan kesal.
"Iya-iya, bawel. Tapi, lo mau 'kan nurutin kemauan gue?" tanya Rinna memastikan sembari menatap kedua bola mataku dengan berbinar-binar.
"Rin, ini gila, tau?"
Rinna menghela nafasnya sembari menatapku dengan serius. "Kalau lo turutin kemauan gue, gue mau di kemo. Gue akan bertahan untuk hidup dan rutin minum obat gue."
"Gue gak yakin. Kita itu beda banget sifatnya, Rin. Gue gak bisa ngebayangin diri gue nari pake pom-pom dan rok mini. Gue juga gak suka keramaian dan gak suka shopping, apa jadinya kalau gue pura-pura jadi lo? Yang ada mereka semua langsung sadar kalau gue Neta!" balasku tak terima. Berpura-pura menjadi Rinna? Yang benar saja!
Rinna tersenyum dan menepuk bahuku sekali. "Tenang, Nara pasti bisa ngebantuin lo. Dia tau kalau gue sakit, 'kan? Dan dia juga sahabat kita berdua, tetanggaan pula sama kita. Kalau lo menyetujui permintaan gue, gue akan telfon Nara untuk dateng ke rumah sakit untuk membicarakan ini semua."
Aku terdiam setelah mendengar penawaran Rinna. Sangat berat bagiku untuk menyetujui permintaan gila ini, tapi kalau aku menyetujuinya Rinna bersedia untuk dikemo. Argh, kenapa perjanjiannya sangat memberatkan sih?!
"Kenapa gue harus berpura-pura jadi elo?" tanyaku dengan nada sarkas.
"Biar penyakit gue tetap tertutup rapih dan orang-orang gak curiga sama gue yang tiba-tiba gak sekolah lagi. Terus juga biar Hazel–"
"LO NGELAKUIN INI SEMUA BUAT HAZEL!?" teriakku histeris sembari menatap Rinna dengan pandangan terkejut.
"Ta, keluarga dia hancur gara-gara Ayah. Hanya ini yang bisa gue lakuin biar keluarga dia gak dendam sama keluarga kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
180°
Teen FictionErinna Calla Janeeta dan Erlinda Kineta Tasanee adalah anak kembar yang sangat identik. Orang-orang bahkan tidak bisa membedakan mana Rinna atau mana Neta saat mereka bersama. Walaupun wajahnya mirip, mereka memiliki banyak perbedaan. Neta suka men...