23

1.5K 64 1
                                    

Aku dan Hazel berhenti di depan pintu ruangan Rinna. Sesaat kakiku bergeming, enggan untuk masuk ke dalam ruangan itu karna aku tak sanggup melihat tubuh Rinna yang ditancapkan berbagai macam selang dan infus.

"Rinna ... beneran dirawat di ruangan ini, Ta?" ucapan Hazel itu seketika merobek kesunyian, membuat aku kembali tersadar dari lamunan.

Aku meliriknya sekilas, lalu mengangguk dengan lambat.

Lalu, tanpa meminta persetujuanku, Hazel masuk ke ruangan tempat Rinna dirawat, membuatku langsung terburu-buru menyusulnya. Belum sampai lima langkah kami berjalan, Hazel sudah menghentikan pergerakan kakinya. Bahkan, bisa kurasakan aura tegang dari gerak-gerik tubuhnya.

"Gak usah kaget, keadaan Rinna dari dulu emang kayak gini," ucapku sembari berjalan melewatinya dan duduk tepat di sebelah kasur Rinna.

Hazel tidak menanggapi ucapanku sama sekali, tatapan matanya fokus kepada tubuh Rinna yang tidak bisa berbuat apa-apa selain tidur. Perlahan namun pasti, dia mendekati kasur tempat Rinna berbaring dan dia berdiri tepat di sebelahku.

"Gue ... gue gak tau harus ngomong apa."

"Sekarang, lo tau 'kan kalau gue sama sekali gak butuh kata maaf dari lo?" ucapku tanpa memandangnya, "Karna kata maaf lo itu gak akan membuat Rinna sadar, dan gak akan buat Rinna sembuh dari penyakitnya."

Hazel diam, sepertinya dia tak sanggup menjawab perkataanku.

"Lo tau, prediksi dokter tentang umur Rinna?" tanyaku dengan genangan air mata di pelupuk mata, "Rinna paling lama, bertahan 3 bulan. Itu artinya, Rinna paling lama bertahan sampai besok."

"Besok?"

Aku mengangguk. "Besok genap 60 hari Rinna terkena virus HIV dan stadium kankernya naik."

"Gue nyesel, Ta. Gue nyesel pernah cerita semuanya Rinna," ucapan selirih angina itu keluar dari mulut Hazel, membuatku sontak menengok ke arahnya.

"Lo cerita ke Rinna? Cerita apa?" tanyaku.

Hazel mendengus sembari membuang tatapan matanya dariku. "Temen-temen pengedar narkoba Ayah gue suka ngancem gue untuk menghancurkan salah satu dari elo atau Rinna, dan kalau gue enggak ngehancurin salah satu dari kalian, bokap lo bakal dibunuh sama mereka."

"Bokap gue dibunuh sama mereka?"

"Iya, soalnya yang eksekusi mati Ayah gue waktu itu 'kan Ayah lo. Lo gak tau emang?"

Sontak kedua bola mataku membesar. "Ayah gue yang eksekusi Ayah lo? Jadi, maksudnya, Ayah gue yang nembak mati Ayah lo?"

Hazel menangguk. "Gue cerita sama Rinna tentang ini semua, dan Rinna bilang, dia akan terus sama gue demi Ayahnya. Rinna bilang, gue boleh lakuin apa aja yang gue mau asal Ayahnya selamat. Tapi sumpah, Ta, gue gak pernah ajak Rinna minum! Gue cuman ajak Rinna ke bar dan dia sendiri yang mau minum karna katanya dia pusing sama semua masalah di hidupnya. Dan soal gue nyuntikin narkoba ke tubuhnya, demi Tuhan gue nggak sadar saat itu! Kayaknya, gue lagi sakaw."

Aku diam, tak sanggup menjawab kata-kata Hazel karna ada begitu banyak kebenaran yang baru aku ketahui. Ayah gak pernah cerita tentang ini sebelumnya, Bunda juga, Rinna juga! Apa kebenaran ini yang selama ini mereka sembunyikan dariku? Apakah kebenaran sekejam ini yang mereka sembunyikan dariku? Dan kenapa Rinna gak pernah mau membagi deritanya denganku? Kenapa dia tidak pernah cerita?

Aku menatap tubuh Rinna yang sekarang sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dan seketika itu juga tangisku pecah menjadi isakan kecil yang sudah setengah mati aku tahan. Aku tidak tau kalau Rinna berkorban sebanyak itu untuk Ayah, dan aku juga tidak tau kalau ini semua bukan murni salah Hazel, tapi Rinna juga turut bersalah!

180°Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang