7

1.4K 78 1
                                    

                  

"Awalnya gue lagi muter-muter doang di sekitar Blok M, eh mobil gue kejebak macet karna katanya ada kecelakaan mobil. Pas gue liat plat nomor mobilnya, gue langsung tau itu mobil Hazel. Akhirnya gue parkir mobil gue di pinggir jalan, dan langsung lari ke mobil Hazel yang ternyata nabrak pohon dan ban mobil depannya sampe naik ke atas trotoar. Terus gue langsung telfon ambulan," jelas Regan keesokan harinya sembari menatapku dengan pandangan datarnya. Aku hanya bisa manggut-manggut mendengar ceritanya tanpa tau harus bereaksi seperti apa.

"Gimana keadaan Rinna?" Regan kembali bersuara setelah didapatinya aku tidak bersuara dan pandangan mataku yang kosong.

"Kacau," balasku sembari menatapnya dengan lelah, "Dia gak mau ngomong sama gue, Ayah, dan Bunda. Dan dia masih penasaran sama keadaan cowok sialan itu."

"Astaga, gue sampe lupa kalau Hazel juga dirawat di sini!" celetuk Regan sambil tertawa sumbang.

"Hazel masih hidup?" pertanyaan bodoh itu terlontar begitu saja dari mulutku tanpa bisa dicegah. Terlihat sekali kalau aku mengharapkan dia mati, ya?

Regan terkekeh. "Masih lah! Kayaknya lo pengen banget dia mati, ya?"

Aku hanya mengangkat kedua bahuku satu kali tanpa berniat menjawab pertanyaan Regan.

"Gue ketemu Hazel tadi sebentar, sebelum gue nemuin lo di kantin," ucapnya sembari menatapku dengan serius, "Dia minta ketemu sama Rinna."

Aku berdecak kagum mendengar pernyataan Regan. "Masih mau ketemu sama Rinna? Gak akan gue biarin! Tuh cowok gak tau malu banget, ya?"

"Kalau gitu, lo aja yang nemuin dia sebagai perwakilan Rinna. Gimana?"

"Apaan deh, Gan? Lo mau mancing amarah gue, ya?" balasku sambil menatap kedua mata Regan dengan kesal.

Regan terkekeh melihat ekspresiku. "Apa salah lo nemuin Hazel sekarang? Sekalian balesin dendam lo, kalau perlu bunuh aja sekalian!"

"Ngaco lo."

"Tapi, Ta, gue serius," Regan langsung menatap kedua mataku dengan serius karna aku menganggapnya bercanda tadi, "Coba temuin dulu Hazel, siapa tau lo dapet penjelasan tentang kejadian ini."

Aku berpikir-pikir sejenak, sebelum akhirnya menganggukan kepala. "Di mana ruangan dia?"

Regan langsung tersenyum, dia bangkit dari duduknya dan menarik tanganku agar mengikutinya. Setelah sampai di depan ruangan Hazel, aku baru menyadari satu hal. Tidak ada satu orangpun di sekitar ruangan ini. Tidak ada keluarga, tidak ada suara-suara khawatir yang mengganggu telingaku, tidak ada tangis yang terdengar, dan tidak ada orang berlalu-lalang bergantian untuk menjenguk Hazel.

Kesunyian telah memeluk erat ruangan Hazel, seakan enggan berbagi dengan kebahagiaan yang mencoba menerobos masuk.

Aku semakin mengeratkan genggamanku di tangan Regan karna tiba-tiba saja perasaan takut menjalar ke seluruh tubuh dan membelenggu hatiku dengan erat. "Gan ... temenin gue masuk ke dalam, ya?"

Regan menggeleng. "Gue jagain dari luar aja. Pasti lo butuh waktu berdua sama Hazel buat ngomong tentang Rinna, 'kan?"

Seketika tanganku berkeringat setelah mendengar penolakan Regan. "Kalau gue diapa-apain gimana?"

"Ck, lebay! Apa perlu gue panggil Papa buat ngambilin lo pisau operasi buat jaga-jaga kalau Hazel macem-macem sama lo?"

Kontan saja aku memukul lengan Regan dengan kesal. "Gak gitu juga!"

"Kalau lo diapa-apain sama dia, teriak aja. Gue 'kan nungguin lo dari sini. Oke?" ucap Regan yang terlihat seperti menahan tawanya. Oh, pacar yang sangat sempurna. Aku sedang ketakutan seperti ini dia malah mau tertawa!

180°Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang