2

1.9K 90 3
                                    


Langit senja selalu memikat hatiku. Warna jingga dengan perpaduan warna kuning, dan terkadang mempunyai semburat berwarna merah muda itu selalu mampu membuat hatiku tenang. Seperti sekarang, aku sedang duduk di teras kamarku –lebih tepatnya kamarku dan Rinna- sembari mengerjakan PR dari Kak Resti. Jangan kau anggap home schooling itu enak karna tidak ada PR, justru PRku lebih banyak daripada PR Rinna, tau?

Saat aku sedang menikmati semilir angin yang menerpa wajahku dengan lembut, tiba-tiba saja Rinna memanggilku dari dalam kamar. Aku hanya menjawabnya dengan gumaman sambil menunggunya mengungkapkan apa yang ingin dia katakan kepadaku.

"Ayah sama Bunda pulang hari ini 'kan, Ta?" tanya Rinna yang sukses membuat gerakan tanganku saat mengerjakan soal berhenti. Aku baru ingat kalau kedua orang tuaku pulang dari luar negri hari ini.

Aku memutuskan untuk mendiamkan pertanyaannya dan terus mengerjakan PR dari Kak Resti. Hah, hidupku yang malang. Aku harus membekam di rumah selama sisa-sisa masa putih abu-abuku. Tidak ada Ujian Nasional bersama teman-teman, tidak ada teman yang jahil, tidak ada Ujian Praktek dengan teman, tidak ada–

"NETA!" teriak Rinna dengan keras, disusul dengan lemparan bantal yang tepat mengenai kepalaku.

"AW! Kenapa sih, Rin? Gue lagi ngerjain PR juga!" omelku kesal sembari mengelus-elus bagian kepalaku yang sakit.

"Gue nanya, hari ini Ayah sama Bunda pulang, 'kan?" tanya Rinna sekali lagi.

"Hm."

Rinna berdecak kesal mendengar gumamanku. "'Hm' itu maksudnya apa? Iya? Gak tau? Atau apa?"

Aku memutar badanku dan menatap Rinna dengan kesal. "Iya mereka pulang hari ini. Kenapa sih lo jadi rese gini?!"

"Yang ada elo tuh, marah-marah terus. Lagi 'bleeding' ya lo?"

"Iya, hari ke dua. Sakit parah," ucapku asal dan kembali memfokuskan pikiranku kepada PR Biologi yang ada di depan mata.

Sedetik sebelum Rinna mengeluarkan suaranya, suara klakson mobil yang sudah sangat familiar untuk telingaku terdengar. Rinna langsung meloncat dari kasurnya dan beranjak turun ke bawah. Aku hanya mendengus pelan, mungkin kepulangan Ayah dan Bunda sangat dinanti-nanti oleh Rinna. Tapi, kalau untukku? Semua sama saja. Ada atau tidak adanya kedua orang tuaku, keadaannya akan sama. Aku tetap tidak diperhatikan.

Aku tidak pernah mengobrol normal dengan kedua orang tuaku semenjak satu tahun yang lalu. Kalaupun diajak ngobrol, topiknya tidak jauh dari pertanyaan tentang Rinna, Rinna, dan Rinna. Mereka akan bertanya apakah Rinna pulang telat atau tidak selama mereka pergi, apakah Rinna meminum obatnya secara teratur, apakah Rinna tidak kecapean, dan hal-hal lain yang sudah sangat aku hafal.

Makanya, aku tidak begitu semangat saat orang tuaku pulang dari tugasnya di luar negri. Toh, yang mereka khawatirkan hanyalah Rinna. Mereka selalu percaya aku bisa menjaga diriku sendiri, dan mereka juga percaya kalau aku bisa menjaga Rinna dengan baik. Aku merasa sekarang ini aku adalah babysitternya Rinna, bukan lagi saudara kembarnya.

"NETA! Turun sini, Ayah bawain makanan kesukaan lo!" teriakan Rinna dari lantai bawah sukses mengacaukan lamunanku.

"Masih inget sama gue ternyata?" gumamku sembari tersenyum mengejek.

Setelah aku membereskan barang-barangku dan mengunci pintu teras, aku turun ke lantai bawah dan terlihatlah Rinna yang sedang dirangkul oleh Ayah dan Bunda. Entah mengapa, hatiku terasa berdenyut melihatnya. Tapi, aku tau kalau aku tidak boleh iri kepada saudara kembarku sendiri.

"Neta, Rinna rutin minum obatnya, 'kan?" tanya Ayah yang sedang menatapku dengan senyuman. See? Bahkan, saat melihatku berdiri di hadapannya, Ayah tidak melepas rangkulannya dari Rinna dan berganti merangkulku.

180°Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang