Selama satu menit kemudian, keadaan menjadi hening karna Hazel terlalu terkejut untuk merespons perkataan Ayahku. Dan, kesempatan itu aku buat untuk mengirim pesan kepada Nara untuk tidak bertamu karna ada keadaan darurat. Setelah aku mengirim pesan itu, aku kembali mendongak dan menatap Hazel dengan pandangan membara yang sarat akan kebencian.
"Saya berbicara sama kamu, Hazel," cetus Ayahku begitu tidak mendapat jawaban apapun dari Hazel.
Seketika, Hazel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal saking gugupnya dia menghadapi Ayahku. "S ... Sa ... Saya ..."
Ayahku menatap Hazel dengan tatapan merendahkan. "Cih, bicara kamu saja terbata-bata. Laki-laki macam apa kamu?"
Tiba-tiba saja, Rinna berjalan ke arah pintu utama rumahku dengan pandangan penasaran. Akupun langsung menghampirinya dan mengajaknya naik ke lantai dua dengan paksa. Tak kupedulikan protesan Rinna yang terkejut karna aku tiba-tiba menarik tangannya.
Setelah sampai di kamar, aku langsung menutup pintunya dan menguncinya. Tak lupa aku memasukan kunci kamarku ke saku celana agar Rinna tidak bisa kabur.
"Apaan sih, Ta? Sakit, tau?!" protes Rinna sambil menatapku dengan jengkel. Oh, ayolah, apakah hal itu penting untuk dibahas sekarang?
Aku berkacak pinggang dan menatap Rinna dengan kesal. "Lo udah gila? Lo mau dibunuh sama Ayah?"
Rinna menatapku seperti aku ini pasien rumah sakit jiwa yang kabur dari rumah sakit. "Apaan sih, Ta? Lo gila, ya?"
"Hazel ada di depan rumah kita dan sekarang Ayah lagi berseteru sama dia, tau?!" balasku dengan suara yang naik dua oktaf. Persetan dengan Hazel yang akan mendengar teriakanku ini!
"Ngapain dia ke sini?" gumam Rinna yang masih tertangkap jelas oleh kedua kupingku.
"NGAPAIN?! Astaga, Rinna! Lo gak usah pura-pura bego di depan gue, jelasin sekarang kenapa Hazel bisa dateng ke rumah kita!"
"Gue gak tau kalau dia dateng ke rumah kita, Ta! Gue gak ngajak dia, gue gak minta dia dateng, gue bahkan gak chatan sama dia dari siang, tau!?" balas Rinna tak kalah kencang. Kedua mata gadis itu juga memerah seiring dengan air matanya yang akan segera luruh ke pipinya.
Aku menggeram dan langsung duduk di sebelah Rinna dengan penuh emosi. "Demi Tuhan, Rin, lo ngapain sih masih berhubungan sama dia? Otak lo tuh di mana, hah!? Lo udah gila!? Gak usah sok-sok berusaha buat merubah dia! Dia aja udah ngebuat hidup lo tergantung sama obat dan dia sama sekali gak peduli!"
"Gue gak ngasih tau dia, Ta! Dia peduli sama gue, cuman dia gak tau tentang penyakit ini! Terus kenapa kalau hidup gue tergantung sama obat, hah?! Lo seneng, 'kan, karna hidup gue gak akan lama lagi dan lo bisa mendapat kasih sayang penuh dari Ayah sama Bunda?!" bentak Rinna dengan air mata yang membanjiri kedua pipinya. Matanya yang penuh dengan rasa emosi itu menatapku dengan tatapan terluka.
Hatiku terbakar emosi karna perkataannya, dan secara otomatis tanganku bergerak untuk menampar pipinya. "Gue gak pernah berpikiran untuk menyingkirkan elo agar mendapat kasih sayang penuh dari Ayah dan Bunda. Lo tau, 'kan, kalau gue juga sakit saat tau kalau lo sakit?! Gue cuman gak habis pikir, kenapa elo masih mau berhubungan sama Hazel!"
Rinna memegang pipinya yang memerah. Sangking terkejutnya, dia berhenti menangis dan menatap kedua bola mataku dengan tatapan kecewa. Aku bahkan tidak sadar kalau aku sudah menampar kembaranku sendiri.
"Gue tau kalau lo emang gak suka sama kehadiran gue, Ta. Penyakit gue ini udah bikin Ayah sama Bunda lupa sama lo, 'kan? penyakit gue juga yang membuat lo membekam di rumah kayak tahanan penjara," Rinna tersenyum miris dan menatapku dengan pandangan yang tak bisa kuartikan, "Gue minta maaf sama lo, dan gue gak akan ganggu lo lagi setelah ini. Gue janji."
![](https://img.wattpad.com/cover/71914189-288-k199309.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
180°
Teen FictionErinna Calla Janeeta dan Erlinda Kineta Tasanee adalah anak kembar yang sangat identik. Orang-orang bahkan tidak bisa membedakan mana Rinna atau mana Neta saat mereka bersama. Walaupun wajahnya mirip, mereka memiliki banyak perbedaan. Neta suka men...