Aku melangkahkan kakiku menuju ruangan Rinna dengan beberapa kaset drama yang aku bawa di tangan. Hari ini adalah hari Minggu, dan aku memutuskan untuk menghabiskan waktuku dengan Rinna di rumah sakit.
"Rinna! Gue bawa kaset drama Korea nih!" aku berseru senang begitu memasuki ruangan Rinna.
Rinna yang sedang memakan buah Apelnya, kontan saja menengok ke arahku. "Neta! Asyik, drama apa yang lo bawa?"
"Brilliant Legacy. Ohya, lo udah minum obat lo? Terus gimana kemonya?" ucapku sembari menghampiri TV di ruangan Rinna yang dilengkapi peralatan DVD.
"Udah gue minum tadi sebelum lo dateng. Kemonya juga berjalan dengan baik, semoga aja gue cepet sembuh," balasnya dengan satu senyuman.
Aku mengangguk, lalu kembali duduk di sebelah Rinna setelah drama yang akan kami tonton terputar. Aku menyapu pandanganku di sekeliling ruangan, dan aku tertegun mendapati begitu banyak rambut di dekat pintu kamar mandi.
"Itu rambut lo, Rin?" tanyaku, lalu aku berdiri kemudian membersihkan rambut-rambut itu agar ruangan Rinna tidak berantakan.
Rinna hanya mengangguk sembari tersenyum tipis, enggan menjelaskan lebih lanjut kepadaku.
Aku baru menyadari kalau bobot tubuh Rinna sudah menurun drastis dari terakhir kali aku mengunjunginya di sini. Dan aku juga baru menyadari kalau rambut Rinna sudah tidak selebat dulu. Rinna yang sekarang bukan Rinna yang biasa aku lihat, Rinna yang sekarang terlihat seperti mayat hidup.
"Ta ... Hazel gimana?" pertanyaan dari Rinna itu sukses membuat pergerakan tanganku yang sedang membuang rambut itu ke tempat sampah terhenti.
Aku tersenyum kikuk. "Hazel? Baik-baik aja kok, untung gue jago main drama, kalau nggak identitas gue udah kebongkar dari awal."
"Dia masih gak sadar kalau lo itu Neta, 'kan?" tanya Rinna sembari menatapku dengan penasaran.
Aku menggigit bibir bawahku, lalu menghembuskan nafas dengan lelah. "Aira tau."
"Hah? Kok bisa?!" balas Rinna dengan nada suaranya yang sangat terkejut.
"Waktu itu gue dateng dianter Regan ke sekolah, terus ketauan sama dia. Terus pas latihan nari-nari gak jelas itu, gue sama sekali gak bisa ikutin tempo dan gue gak afal sama gerakan dan posisi gue. Jadi dia tau," balasku.
"Tunggu," Rinna menatapku dengan heran, "Lo dianter Regan ke sekolah?" tanyanya yang dibalas anggukan dariku, "Terus Hazel gimana?! Ya ampun Neta, nekat banget sih lo?!"
"Dia gak jadi jemput gue di rumah."
"Terus lo minta Regan nganterin elo?"
"Dia nawarin diri."
"Terus lo terima?"
"Iyalah, 'kan gue kangen dianter ke sekolah sama dia."
"NETA!"
"APA? Gue harus nurutin semua kemauan lo emang?! Gue aja gak tau alasan gue harus berkorban, dan lo masih maksa gue?" balasku dengan amarah yang sudah membuncah keluar.
"Gue, Bunda, sama Ayah belum bisa bilang, Ta."
"Bullshit! Gue pemeran utamanya di sini, gue yang ngejalanin semuanya, tapi lo masih gak ngebolehin gue tau tentang alasan gue harus ngelakuin semua ini? Capek gue, Rin!"
Rinna menghela nafasnya dengan lelah, kemudian menatapku dengan datar. "Lo inget Om Riko?"
"Kenapa emangnya?" tanyaku dengan malas, lalu sedetik kemudian kedua bola mataku membulat, "Jangan bilang dia ..."
Pemikiranku langsung dibenarkan oleh Rinna karna kepalanya mengangguk.
Oh Tuhan, kenapa bisa begini?!
*
Aku menenggak habis minuman ditanganku tanpa mempedulikan protesan dari teman-temanku. Hari ini adalah hari Senin, dan sekarang aku baru selesai latihan cheerleader. Harus kuakui, kemampuanku meningkat karna aku sudah bisa menghafal gerakan dan perpindahan posisiku. Walaupun powerku masih kurang, setidaknya kupingku tidak terlalu sering mendengar omelan Kak Bunga.
"RINNA! ITU 'KAN MINUMAN GUE!!!" Mela langsung protes dengan teriakannya yang membuat kupingku berdengung.
"Hehehe, sorry ya, Mel, gue haus banget soalnya!" balasku sembari tersenyum tak bersalah.
"Rinna! Itu gelang dari siapa? Cie, dari Hazel, ya? Romantis banget sih cowok lo," celetukan dari Fera itu kontan saja membuat kedua mataku melebar.
Aku melihat pergelangan tangan kiriku, dan terlihatlah gelang yang minggu lalu Regan beri kepadaku. Oh, bodoh sekali! Aku lupa melepaskan gelang ini dari tanganku saking bahagianya. Dan sekarang mereka mengira ini dari Hazel? Tamatlah sudah, apa yang harus aku jelaskan ke Hazel kalau dia melihat gelang ini?
Seperti menjawab pikiranku, tiba-tiba saja Hazel datang dengan seragam basketnya yang basah karna keringat dan tas yang dia gendong di satu bahu. "Rin, gak jadi pulang bareng, ya? Aku mau nongkrong dulu sama bocah-bocah."
Walaupun aku tidak tau 'bocah-bocah' yang Hazel maksud itu siapa, aku tetap mengangguk sembari memaksakan satu senyuman yang sepertinya terlihat kikuk. Tentu saja, aku sedang panik karna gelang ini ada di pergelangan tanganku!
"Hazel, lo baik banget deh sampe ngasih Rinna gelang kayak gitu!" ucapan dari Niken itu kontan saja membuat dahi Hazel mengerut.
"Gelang? Gue gak pernah ngasih Rinna gelang," balas Hazel dan kemudian matanya menatapku, "Gelang apa, Rin? Kamu dikasih siapa?"
"Eh? Ge ... gelangnya dikasih sa ... sama Ayah! Iya, sama Ayah! Hehe," balasku sembari memaksakan satu senyuman. Sungguh, itu perkataan terbodoh yang pernah aku dengar!
Hazel melihat gelang di tanganku, lalu dia tersenyum. "Bagus. Nanti aku beliin yang lebih bagus lagi, ya? Yaudah, aku pergi dulu. Kamu hati-hati pulangnya."
Aku hanya mengangguk sembari menatap punggung yang menjauh itu dengan tatapan aneh, sepertinya aku melihat ekspresi terkejut dari Hazel tadi. Atau itu hanya ilusiku saja? Ah, sudahlah.
"Beneran gelangnya dari Ayah lo, Rin? Tumben amat!" celetukan dari Nara itu langsung kuhadiahi dengan pelototan tajam. Betapa jahatnya dia membuatku semakin terpuruk begini?
"Lo semua percaya gelangnya dari Ayahnya?" suara itu kontan saja membuatku dan teman-temanku berbalik. Mataku langsung menemukan sosok Aira sedang berdiri sembari berkacak pinggang di hadapanku.
"Lah, emang dari siapa lagi?"
Aira tersenyum sinis, lalu dia berjalan mendekatiku. Setelah jarak anatara aku dan dia sudah terbunuh, dia mendekatkan kepalanya ke kupingku, dan berbisik pelan. "Lo kira gue nggak tau kalau itu dari Regan? Hm?"
Kontan saja aku langsung terdiam di tempat sembari menatap kedua mata Aira dengan terkejut. Aku hanya bisa diam tanpa bisa membalas perkataannya. Aku benar-benar kesal sekarang, kenapa aku harus terlahir sebagai orang lemah begini sih?! Ingin rasanya aku menjambak rambut Aira, namun lututku saja sudah lemas begitu menatap matanya.
"Rin? Lo nggak apa-apa? Aira bilang apa tadi?" ucapan dari teman-temanku itu langsung membuyarkan lamunanku.
"Ah? Gue nggak apa-apa kok, yuk balik!"
Aku berharap Aira tidak membongkar identitasku, karna aku benar-benar akan menghancurkan Rinna kalau Aira membongkar semua identitasku. Hah, bodoh! Kenapa identitasku bisa dengan mudahnya ketahuan oleh setan jahat macam dia sih?!
KAMU SEDANG MEMBACA
180°
Teen FictionErinna Calla Janeeta dan Erlinda Kineta Tasanee adalah anak kembar yang sangat identik. Orang-orang bahkan tidak bisa membedakan mana Rinna atau mana Neta saat mereka bersama. Walaupun wajahnya mirip, mereka memiliki banyak perbedaan. Neta suka men...