Justin menatapku penuh tanda tanya. Aku tidak mengerti. Aku membalas tatapannya dengan pertanyaan juga.
"Sampek kapan lo mau gak ngasih tau hal ini ke belle?" Tanyanya yang membuatku menghentikan aktifitasku. Aku meletakkan cangkir dan menatapnya.
"I don't know." Ucapku sambil memandangnya bingung. Aku tau justin tidak ingin adik kecilnya tersakiti lagi tapi hanya ini satu-satunya jalan.
"Jangan kayak anak kecil dav, lo tau apa yang harus lo lakuin, jangan sampe karna hal ini lo harus mengalah atau tersisihkan lagi." Ucapnya memperingatiku. Ya aku tau, selamanya aku akan kalah dengan dia yang sempurna.
"Gue cuma gak ingin hal itu terulang lagi jus." Jawabku datar, justin hanya terkekeh.
"Dengan lo begini, semua hal itu akan terulang dav dan kali ini gue gak mungkin bisa bantu lo, kalau kenyataanya belle akan memilihnya. She's my sister, remember that." Ucapan justin membuat otakku bergelung-gelung. Aku tau yang kulakukan ini salah tapi untuk saat ini biarkan saja seperti ini. Aku sedang menikmatinya. Aku mengangguk menanggapi pernyataan justin.
"Gue kemarin bertemu dengannya. Dia di paris." Ucap justin yang berhasil membuatku tersedak kopi. Apa? Dia di Paris? Untuk apa? Apa dia belum puas? .
"Well sepertinya lo baru tahu dari gue. Apa lo perlu bantuan?" Tanyanya lagi. Aku meliriknya, memangnya aku anak kecil apa dibantu-bantu terus. Justin tertawa sambil meminum kopinya.
Kapan dia datang? Kenapa tidak ada yang memberitahuku kalau dia kesini? Kenapa mom tidak mengirim sms padaku? Apa dia kesini tanpa sepengetahuan mom? Kenapa dia selalu menggangguku!
"Sorry gue baru kasih tau lo hari ini. Kemarin gak sempat hubungin lo setelah sampe rumah. Remember, We are same dav. Lo gak bisa mengungkiri bahwa dia..
"Gue tau jus, can you stop talking him?" Selaku sambil meliriknya. Aku tahu sahabatku ini tidak akan ikut campur jika belom kelewatan. Dia berhenti berbicara mengenai orang itu. Justin, dia memang sahabat terbaikku tapi terkadang dia juga bisa berbuat seolah aku musuh bebuyutan.
"Dia menelpon tadi, tetapi dia tidak bilang kalau sedang di paris." Ucapku sambil memutar-mutar gelas kopiku. Justin melihatku dengan tatapan 'benarkah?'. Aku mengangguk.
"Dia bilang apa? Apa dia ngancem lo? Sialan harusnya gue ambil profesi yang sama aja kek jason, biar gue bisa deket lo. Kalo gini kan susah. Jason dan dia kan sama profesi jadinya gampang. Damn it!" Omel justin. Aku hanya terkekeh mendengarnya. Ya dulu saat masih 15 tahun, aku dan justin berencana menjadi dokter ahli bedah tetapi papa menentangku. Aku disuruh menjadi sepertinya karena menurutnya dokter itu terlalu mudah untuk dipelajari. Akhirnya aku dan justin beda kampus. Sedangkan dia, dia bisa bersama dengan sahabatnya, jason. Menyebalkan.
"Harusnya dulu gue kabur aja dari rumah jus." Ucapku sesal
"Dan ninggalin nyokap lo sendirian? Lo tau gimana bokap lo dav." Ucap justin menyadarkanku. Mom, dia selalu menjadi alasanku tetap bertahan.
"Kasih tau gue kapan lo bakal bilang ke belle?" Tanyanya. Aku kembali keketakutanku. Aku tidak sehebat lelaki itu. Aku berbeda dengannya.
"Jangan bilang kalo lo itu gak sehebat dia dav. Lo itu jauh lebih hebat dari dia bahkan kalo sekarang pun lo mau jadi dokter bedah seperti gue, lo bisa." Pernyataan justin membuatku berpikir. Gue berbeda jus, beda.
Tokk tokk tokk
Seorang wanita cantik mengenakan dress biru denim selutut masuk sambil tersenyum. Dia berjalan anggun layaknya seorang putri. Aku tak berkedip melihatnya dan justin melempariku kacang.
"Jus, jason sudah pergi. Dia bilang gak bisa pamitan sama lo karna jason ngira lo masih tidur. Jadinya dia pamitan ke gue doang. Jadi kemana kita pergi??" Tanyanya pada justin. Justin menatapnya tajam. Kenapa mereka berdua?

KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken Destiny
RomanceWhen the love that you believe it makes you hurt and loss. When a very beautiful love turn into a complicated. When destiny unite .. destiny also separates And if destiny was real? What would you do? Accept it or Change it?