Thirteen

4.4K 96 3
                                    

Setelah kejadian dave tidur dipangkuanku selama hampir 6 jam, aku mulai semakin sering memikirkannya. Entah kenapa setiap mengingat wajahnya aku selalu tersenyum dengan sendirinya bahkan saat justin dan yang lain menyebutkan namanya jantungku berdegup sangat cepat. Apa aku benar-benar jatuh cinta lagi? Tidak-tidak jangan berpikiran aneh-aneh.

"Bellee.. hellooo.." ucap lia sambil mengibaskan tangannya di depan wajahku. Aku melihatnya lalu menaikkan kedua alisku.

"Lo melamun?? Melamunin apaan lo? Jangan-jangan lo lagu mikir yang enggak-enggak. Lo lagi mikir jorok ya?" Ucapnya sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku mendelik saat mendengar lia berkata seperti itu.

"Apaan sihh, ganggu orang lagi mikir aja." Ucapku sambil mendorong kepalanya menjauh dariku dengan jari telunjukku di dahinya. Lia tertawa terbahak-bahak.

"Pasti lo lagi mikirin dave kan?? Ngaku lo sama gue." Ucap lia sambil menyunggingkan senyum jahilnya. Aku yang mendengar pernyataan lia sangat tepat langsung salah tingkah.

"App..apaan sih, enggak kalii. Masa yang dipikiranku cuma dave. Banyak yang gue pikirin kok." Ucapku sambil membenarkan posisi duduk. Lia tertawa sambil menutup wajahnya dan wajahnya sekarang sudah berwarna stroberi. Apa kalian tahu lia kalau sudah tertawa seperti itu, wajahnya akan memerah sewarna dengan stroberi dan dia tidak pernah tertawa seperti itu dihadapan orang lain. Jangan bayangkan wajah hellboy. Tidak semerah itu juga! Aku menahan tawaku. Lia semakin cantik jika wajahnya berwarna seperti itu.

"Li, muka lo berwarna stroberi." Ucapku sambil mengembungkan pipiku menahan tawa. Lia sontak berhenti tertawa dan menatapku lalu menundukkan wajahnya. Saat itu juga tawaku lepas.

"Hahahahahaha." Aku hanya bisa tertawa melihat tingkahnya.

"Belle jangan tertawa kencang. Jangan membuatku mengingat wajahmu tadi dan membuat wajahku semakin memerah.. justin dan yang lainnya akan segera tiba. Stopp!" Ucap lia yang semakin membuatku tertawa sangat kencang sambil memegang perut. Bayangkan saja mukanya. Matanya yang berwarna hijau cerah itu sangat menyala saat ini.

"Bellllll.." teriaknya dengan posisi sama hanya saja dia menghentakkan kakinya. Dari jauh aku melihat justin dan yang lain datang. Aku menahan tawaku sampai justin tiba. Aku meletakkan jari telunjukku di bibirku pada justin mengisyaratkan dia untuk diam tak bersuara. Justin menganggukkan kepalanya.

"Udah gue gak ketawa lagi, gak usah ditutupin lagi mukanya, kan gak ada siapa-siapa." Ucapku agar lia tidak menutupi wajahnya lagi dan berhasil. Dia langsung melepas tangannya dan mendongak. Dia mendelik kaget lalu menundukkan lagi wajahnya dan menutupinya lagi dan aku tertawa lagi.

"Joan, muka lo kenapa? Biar kulihat." Tanya justin yang langsung mengambil tempat kosong di sebelah kiriku dan berada disebelah kanan lia. Lia menggelengkan wajahnya cepat dan aku semakin tertawa sangat kencang. Sungguh perutku saat ini sudah sangat sakit. Aku menyerah tapi tawa ini tidak mau berhenti.

"Belle stop. Don't laugh too much. Itu tidak baik, lo bisa meninggal karena tidak bernapas saat tertawa." Ucap justin memandangku, aku berhenti saat itu juga dan menahan rasa geli di perutku.

"Biarkan gue melihatnya. Sejak kecil Kukira warna merah itu karena lo alergi dan kukira juga sudah sembuh karena sudah lama gue tidak melihatnya. Biarkan gue melihatnya, jika begini wajahmu akan semakin memerah karena tidak mendapat udara." Ucap justin sambil menarik tangan lia. Lia menjauhkan tangannya dari wajahnya, lalu justin memegang pipi lia dan memperhatikannya lalu meraba wajah lia. Tidak-tidak itu bukan meraba tapi mengelus.

"Gatal? Sakit? Perih?" Tanya justin yang ditanggapi gelengan pelan lia. Justin menoleh padaku lalu mengerutkan keningnya. Aku melihat tangan justin menggenggam tangan lia.

Unspoken DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang